Tuesday, 18 August 2015

Tata Cara Pernikahan Adat Minangkabau “BARALEK GADANG”

"Wedding Ceremony Procession in Minangkabau "BARALEK GADANG"

 Minangkabau memiliki prosesi pernikahan yang sangat beragam, begitu juga atribut pakaian dan perhiasan yang dikenakan pengantinnya dikala melangsungkan pernikahan. Masing-masing nagari memiliki karakteristik busana pengantin dan hiasan kepala yang dikenakan pengantin juga berbeda. Berikut ini tata cara perkawinan adat Minang, Sumatera Barat, Indonesia. Selain bercirikan megah, mewah dan meriah, pelaminan bernuansa emas dan perak. Gaun pengantin umumnya berbentuk tiga dimensi. Pada dasarnya prosesi pernikahan terdiri dari beberapa tahapan. Secara garis besar dapat dilihat berikut:
1. Maresek
Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya timur. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga
2. Meminang dan Bertukar Tanda
Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau kampla yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Selain itu juga disertakan oleh-oleh kue-kue dan buah-buahan. Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Benda-benda ini akan dikembalikan dalam suatu acara resmi setelah berlangsung akad nikah. Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan lamaran resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing. Selanjutnya berembug soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.
3. Mahanta / Minta Izin
Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu rencana pernikahan kepada mamak-mamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih. Bagi calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (namun saat ini sedah digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita ritual ini menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.
4. Babako - Babaki
Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), antaran barang yang diperlukan calon mempelai wanita seperti seperangkat busana, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya. Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.
5. Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Tumbukan ini akan meninggalkan bekas warna merah cemerlang pada kuku. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita. . Filosofinya : Bimbingan terakhir dari seorang ayah dan ibu yang telah membesarkan puterinya dengan penuh kehormatan, karena setelah menikah maka yang akan membimbingnya lagi adalah suaminya. Busana khusus untuk upacara bainai yakni baju tokoh dan bersunting rendah. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai dan kursi untuk calon mempelai. Bersamaan dengan inai dipasang, berkumandang syair tradisi Minang pada malam bainai diwarnai dengan pekikan seruling. Calon mempelai wanita dengan baju tokoh dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.
6. Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan datangnya secara beradat, pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatera barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang.
Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.
7. Penyambutan di Rumah Anak Daro
Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih.Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan.
Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat timbal balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.
8. Akad Nikah
Diawali pembacaan ayat suci, ijab kabul, nasehat perkawinan dan doa. Prosesi aqad nikah dilangsungkan sebagaimana biasa, sesuai syariat Islam. Ini merupakan pengejawantahan dari ABS-SBK (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah) dan SMAM (Syara’ Mangato, Adat Mamakai). Ijab Kabul umumnya dilakukan pada hari Jum’at siang
9. Basandiang di pelaminan
Marapulai dijapuik pihak anak daro. sesudah melakukan akad nikah untuk basandiang di rumah anak daro. Anak daro dan marapulai menanti tamu alek salingka alam diwarnai musik di halaman rumah. Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan seusai akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki.
* Memulangkan tanda
Setelah resmi sebagai suami istri maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan oleh kedua belah pihak, sebab barang memiliki nilai historis dan simbol pengikat mempelai.
*Mengumumnkan gelar pengantin pria
Gelar sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai pria lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya. Sesuatu yang sangat khas Minangkabau ialah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap dewasa harus mempunyai gelar. Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Oleh karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Gelar suku tertentu berbeda dengan suku lain. Jadi suku Chaniago, Koto, Piliang memiliki gelar masing-masing.
Kalau untuk menantu yang berasal dari Minang, gelar adat yang yang diberikan oleh kaumnya disampaikan secara resmi dalam kesempatan ini langsung oleh ninik mamak atau yang mewakili keluarga pengantin pria. Untuk menantu yang bukan berasal dari Minang. Gelar ini disebutkan secara resmi oleh wakil keluarga Ayah pengantin Pria.
Filosofinya : Seorang semenda harus lah dihormati oleh keluarga pengantin wanita dan tidaklah layak untuk memanggilnya hanya dengan menyebut namanya saja. Itu dapat dilakukan terhadap anak-anak kecil, sedangkan pemuda yang sudah kawin menurut tata tertib adat disebut sudah “gadang” sudah bisa dibawa berunding. “Ketek banamo-Gadang bagala”. Dan gelar ini juga harus disebutkan secara resmi ditengah-tengah orang ramai. Inilah yang disebut acara “Malewakan gala Marapulai”.
*Mengadu Kening
Pasangan mempelai dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai didudukkan saling berhadapan dan diantara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling bersentuhan. Filosofinya : Mereka sudah syah menjadi Muhrim. Dan persentuhan kulit tidak lagi membatalkan uduk mereka.
*Mangaruak Nasi Kuning
Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami istri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning. Bagian tubuh ayam yang terambil menandakan peranan masing-masing dalam rumah tangga. Kepala ayam artinya dominan dalam perkawinan. Dada ayam artinya berlapang dada dan penyabar. Paha dan sayap berarti menjadi pelindung keluarga dan anak-anaknya
*Bermain Coki
Coki adalah permaian tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.
* Tari Payung
Dipercayai sebagai tarian pengantin baru. Syair `Berbendi-bendi ke sungai tanang`, berarti pasangan yang baru menikah pergi mandi ke kolam yang dinamai sungai Tanang yang mencerminkan berbulan madu. Penari memakai payung melambangkan peranan suami sebagai pelindung istri.
10. Manikam Jajak
Satu minggu setelah akad nikah, umumnya pada hari Jum’at sore, kedua pengantin baru pergi ke rumah orang tua serta ninik mamak pengantin pria dengan membawa makanan. Tujuan dari upacara adat Manikam jajak di Minang ini adalah untuk menghormati atau memuliakan orang tua serta ninik mamak pengantin pria seperti orang tua dan ninik mamak sendiri.
Rangkaian baralek gadang ini emang benar-benar melelahkan. Karena itu, akhir-akhir ini acara pernikahan di Kota Padang lebih cenderung merujuk kepada acara pernikahan modern yang tak kelewat bikin repot

Sunday, 16 August 2015

Seni Perang Bangsa Minangkabau

Benteng Bonjol.
Sumber gambar: Tijschrift voor Nederlands Indie 1839.
Benteng Bonjol. Sumber gambar: Tijschrift voor Nederlands Indie 1839.
Kapten Belanda bernama Hendriks (R.I.P) menjelaskan dalam catatannya seni perang bangsa minangkabau. Yang pada akhirnya catatan tersebut dipublikasikan dalam sebuah buku “Berperang di Sumatera” pada tahun 1881. Buku itu berisi penjelasan tentang petunjuk-petunjuk bagaimana berperang di Sumatera Barat melawan suku bangsa Minangkabau.

Buku tersebut memuat pengalaman berdasarkan banyak kekalahan dan pengalaman pahit Belanda melawan minangkabau dimasa lalu. Belanda boleh jadi sangat paham dalam berperang di Jawa namun karakteristik orang Jawa dalam berperang sangatlah berbeda jauh dengan orang Minangkabau. Demikian juga dalam pengetahuan  tentang peralatan perang. Pasukan Jawa lebih banyak mengandalkan mobilitas yang tinggi dan besarnya pasukan sehingga perang-perang di tanah Jawa lebih banyak dihabiskan pasukan Belanda untuk mengejar musuh.

Orang-orang Minangkabau sangat ahli dibidang “Stratak” dalam perang terutama mempergunakan benteng, sehingga mereka lebih senang bertahan dalam benteng-benteng dan memanfaatkan keadaan alam sebagai pertahanan. Orang-orang Minangkabau jarang sekali  menyerang pasukan Belanda dilapangan terbuka, mereka biasanya menyerang saat  pasukan Belanda sedang dalam barisan dan mereka juga biasa untuk bertahan sampai  mati walaupun memiliki kesempatan untuk melarikan diri.

Senjata yang biasa dipakai oleh rakyat Minangkabau adalah senapan (Badia), karih (keris), kelewang, tombak dan sumpit (tidak pernah memakai anak panah yang beracun, yang dipakai adalah getah aren yang akan  membuat luka menjadi sakit seperti terbakar). Dalam berperang rakyat Minangkabau memakai ranjau dari bambu-bambu yang sangat runcing untuk dipasang di jalan yang diduga akan dilewati musuh. Tetapi sistem pertahanan yang terpenting adalah pagar-pagar hidup yang  terdiri dari bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga mereka  dapat mengamati gerak musuh tanpa terlihat. Pohon bambu berduri ini bila sudah  berumur empat tahun akan menjadi hutan berduri panjang yang mustahil untuk  ditembus, atau biasa dinamai bambu aur.

Hendriks juga menulis agar pasukan Belanda jangan sekali-kali mengejar musuh yang sedang melarikan diri dari Benteng mereka karena kebanyakan ini adalah jebakan, dimana sebuah pasukan yang lain telah disiapkan menunggu dan bersembunyi dalam semak, bebatuan maupun  perbukitan. Jika suatu daerah telah kalah, mereka juga jarang menyerahkan diri, biasanya mereka bertahan dihutan hingga berbulan-bulan dan menyerang  transportasi logistic pasukan Belanda ketika malam.

Sebuah catatan yang dimuat  dalam “Berperang di Sumatera” ini adalah tentang kehebatan orang – orang Padri  yang hanya dengan pasukan berkekuatan 30 orang mampu memukul mundur pasukan Belanda yang berjumlah 2000 serdadu. Pada peperangan Belanda melawan masyarakat Pauah, didiskripsikan bahwa “kampuang Pauah” dikelilingi benteng dari tembok batu dengan tebal 5 meter dan tinggi yang variatif antara 3 sampai 5 meter.
Seorang letnan Belanda bernama Boelhouwer dalam bukunya “Kenang – kenangan sewaktu di Sumatera  Barat tahun 1831 – 1834″ yang diterbitkan di Belanda tahun 1841 melukiskan  pertahanan Bonjol sebagai berikut :  “Bonjol terletak diatas bukit  berbentuk segi empat panjang yang dipisahkan oleh sebuah sungai dengan aliran  yang deras. Tiga sisi Bonjol dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Tembok luar terdiri dari batu-batu besar yang  merupakan tembok benteng yang kokoh dengan teknik pembuatan hampir sama seperti  benteng-benteng di Eropa.

Diantara kedua tembok benteng itu dibuat parit yang  dalam dengan lebar 4 meter. Di atas tembok benteng itu ditanami bambu berduri  yang sudah hampir berupa hutan duri yang tidak dapat ditembus. Orang orang Padri menempatkan pengintai dan penembak jitu dibalik bambu berduri ini untuk memantau  pergerakan pasukan Belanda.

Dibeberapa tempat terlihat meriam-merian kaliber 12  pon dengan pedati beroda kayu tanpa jari-jari untuk mengangkutnya dan di dekat  meriam tersebut terdapat batu bulat sebagai pengganti peluru. Sungguh  mengherankan bagaimana mereka dapat membawa meriam sebesar itu keatas bukit  sedangkan kami (maksudnya Belanda) hanya mampu membawa meriam kaliber 3 pon,  itupun harus dipereteli.

Diluar Bonjol terdapat mesjid berbentuk segi empat yang  dibangun tanpa paku dan besi dengan atap terdiri dari 5 lapis yang makin lama  makin kecil dan tertutup sirap, bahan yang sama dengan yang dipakai untuk atap gereja-gereja di Eropa dan dapat menampung kurang lebih 3000 orang. Sebenarnya jika ada kemauan, bangsa Minang ini dapat mencapai kemajuan peradaban setara dengan Eropa”  Dengan semua kelebihan dan  kemampuan yang dimiliki seharusnya mustahil Minangkabau dapat ditaklukkan oleh  Belanda.

Bagaimanakah bangsa minangkabau bisa diobrak-abrik Belanda?  Jawabannya sederhana saja, bak undang-undang minang penyebabnya “lah ado nan indak saciok bak ayam, lah ado nan indak sadanciang bak basi”, atau “ado guntiang dalam lipatan” bagaimanapun “rapek” kain pasti terpotong juga.

Sumber:
Rusli, Amran. 1988. Padang Riwayatmu Dulu. Cetakan Kedua,  Penerbit CV. Yasaguna.

Thursday, 13 August 2015

Nilai-Nilai Dasar Adat Minangkabau

Minangkabau
Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi , eksplisit atau implisit yang menjadi milik khusus seorang atau ciri khusus suatu kesatuan sosial (masyarakat) menyangkut sesuatu yang diingini bersama (karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan sebagai cara, alat dan tujuan sebuah tindakan.Nilai nilai dasar yang universal adalah masalah hidup yang menentukan orientasi nilai budaya suatu masyarakat, yang terdiri dari hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam, dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.

1. Pandangan Terhadap Hidup

Tujuan hidup bagi orang Minangkabau adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau mengatakan bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako”. Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka pribahasa yang dikemukakan adalah :

Gajah mati maninggakan gadieng
Harimau mati maninggakan balang
Manusia mati maninggakan namo

Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan dan masyarakatnya. Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat mencari materi tetapi juga kuat menunjuk mengajari anak kemenakan sesuai dengan norma-norma adat yang berlaku. Ungkapan adat juga mengatakan “Pulai batingkek naiek maninggakan rueh jo buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako”.

Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya ataupun keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau

Nilai hidup yang baik dan tinggi telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.

2. Pandangan Terhadap Kerja

Sejalan dengan makna hidup bagi orang Minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang dapat membuat orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakannya. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan “Hilang rano dek panyakik, hilang bangso indak barameh”(hilang warna karena penyakit, hilsng bangsa karena tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena miskin, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.

Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat itu seperti perkawinan membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat sbb:

Kayu hutan bukan andaleh
Elok dibuek ka lamari
Tahan hujan barani bapaneh
Baitu urang mancari rasaki

Kayu hutan bukan andalas
Elok dibuat untuk lemari
Tahan hujan berani berpanas
Begitu orang mencari rezeki

Dari etos kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggungjawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat dikampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang Minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi ulet.

Etos kerja keras yang sudah merupakan nilai dasar bagi orang Minangkabau ditingkatkan lagi oleh pandangan ajaran Islam yang mengatakan orang harus bekerja keras seakan-akan dia hidup untuk selama-lamanya, dia harus beramal terus seakan-akan dia akan mati besok.

3. Pandangan Terhadap Waktu

Bagi orang Minangkabau waktu berharga merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagaimana dikatakan “Duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarah”.

Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh ka nan sudah. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha untuk memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarak merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang. Membangkit batang terandam merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat berfatwa “bakulimek sabalun habih, sadiokan payuang sabalun hujan”.

4. Hakekat Pandangan Terhadap Alam

Alam Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau, kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya. Mamangan, pepatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas daripada alam.

Alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru.

Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat adalah yang tidak lapuak karena hujan dan tak lekang karena panas biasanya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.

5. Pandangan Terhadap Sesama

Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini menyatakan mereka dengan ungkapan “Duduak samo randah, tagak samo tinggi”.

Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil mufakat merupakan otoritas yang tertinggi.

Kekuasaan yang tertinggi menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran itu harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sehat diperlukan oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggi manusia yang menggunakan akal. Nilai-nilai yang dibawa Islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan Islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.

Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun berbeda saling dibutuhkan dan saling membutuhkan sehingga terdapat kebersamaan.
Dikatakan dalam mamangan adat “Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuek pambaok baban, nan binguang kadisuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang. Hanya fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihargai karena semuanya saling isi mengisi.
Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan “nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi”. Kedatangan agama Islam konsep pandangan terhadap sesama dipertegas lagi.

Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilinial yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakatan nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis.

LIHAT JUGA ARTIKEL MENGENAI BUDAYA MINANGKABAU BERIKUT:
Pidato Pasambahan Mampitaruahan Marapulai
Ciri Khas Orang Minangkabau
Tradisi Bajapuik di Minangkabau

Wednesday, 12 August 2015

Sejarah Asal Usul Kejadian Suku Batu Hampar 40 Di Negeri Sembilan

Monarchs of Negri Sembilan
Di zaman pemerintahan Yam Tuan Radin, dan telah mangkat pada tahun 186. Kekecuhan perebutan kuasa telah berlaku selepas kemangkatan baginda. Pembesar- pembesar Istana Sri Menati telah bersetuju melantik Yam Tuan Radin Menjadi Yam Tuan Sri Menanti.

Yam Tuan Imam telah mangkat pada tahun 1869. Pertelingkahan perebutan kuasa tidak dapat dielakkan dan kelihatan pada masa itu Persekutuan Negeri-Negeri membentuk Negeri Sembilan seolah-olah dibubarkan dan berpecah belah.

Di Sri Menanti; pembesar-pembesar Istana tidak bersetuju melantik Tengku Ahmad Tunggal iaitu Putera Yam Tuan Imam sebagai pengganti baginda. Kerana kelakuan Tengku Ahmad Tunggal dikatakan tidak menyenangkan. Tengku Ahmad Tunggal telah melarikan diri ke Sungai Ujong menemui Dato' Kelana Syed Abd Rahman dan berlakulah krisis perebutan tahta Negeri Sembilan.

Bagaimanapun ketika krisis sedang memuncak, pembesar-pembesar Istana telah melantik Tengku Ampuan Intan Puteri Tengku Alang Hussain iaitu cucu Yam Tuan Itam memangku Tahta Yam Tuan Sri Menanti selama 3 tahun. Bermula pada tahun masihi 1869 sehingga tahun masihi 1872.

Dalam sepanjang pemerintahan baginda, baginda telah menempatkan saudara perempuannya Tengku Cindai (Sajar) bersama dengan rombongannya dalam 7 buah kereta lembu menuju ke sebelah timur untuk membuka perkampungan yang baru.

Baginda Tengku Ampuan Intan telah menganugerahkan tanah seluas 40 jangka untuk ditebang tebas menjadikan perkampungan. Baginda juga telah berkenan melantik seorang Ketua Adat iaitu sebagai Dato' Lembaga yang bergelar Dato' Raja Panglima dan sebagai Apit Lepang Orang Enam Istana Besar Sri Menanti serta dibantu oleh seorang Orang Besar Waris yang bergelar Dato' Satey Maharaja dan seorang Buapak bergelar Dato' Sati Maharaja. Baginda juga telah menamakan kumpulan tersebut dengan Suku Batu Hampar Empat Puluh Kampung Pelangai, Kuala pilah.

BACA JUGA ARTIKEL SEJARAH MINANGKABAU BERIKUT:

Sejarah Silek Minangkabau
Sejarah Urang Kubu
Sejarah Gempa di Padang Panjang 7,6 SR

Monday, 10 August 2015

Sejarah Silek Minangkabau


Silek atau biasa disebut silat adalah seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki tabiat suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Selanjutnya daerah Nusantara ini adalah daerah yang subur dan merupakan tempat rempah-rempah penting sejak abad pertama masehi, oleh sebab itu, tentu saja ancaman-ancaman keamanan bisa saja datang dari pihak pendatang ke kawasan Nusantara ini.

Merujuk pada buku Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau karangan Mid Djamal (1986), maka dapat diketahui bahwa pendiri dari Silat Minangkabau adalah Datuak Suri Dirajo diperkirakan berdiri pada tahun 1119 Masehi di daerah Pariangan, Padangpanjang, Minangkabau. Lebih lanjut diuraikan oleh Djamal bahwa pengawal dari Datuak Suri Dirajo ini adalah Kambiang Utan (berasal dari Kamboja), Harimau Campo (berasal dari daerah Champa), Kuciang Siam (datang dari daerah Siam atau Thailand) dan Anjiang Mualim (datang dari Negeri Persia). Di masa Datuak Suri Dirajo inilah silek Minangkabau pertama kali diramu dan tentu saja gerakan-gerakan beladiri dari pengawal yang empat orang tersebut turut mewarnai silek itu sendiri. Nama-nama nama mereka seperti nama hewan (Kambing, Harimau, Kucing dan Anjing), namun tentu saja mereka adalah manusia, bukan hewan menurut persangka beberapa orang. Meraka bertugas  sebagai Dubalang didaerah Minangkabau, yaitu berupa:


Harimau Campo ditugaskan untuk membawa kelompok untuk Luhak Agam
Kambiang Hutan ditugaskan untuk tinggal di Luhak Limapuluh
Kuciang Siam diarahkan ke wilayah Lasi Tanah Data
Anjiang Mualim membawa kelompok ke wilayah rantau.

Seiring berjalannya waktu, semakin bertambah wilayah di Minangkabau sejalan dengan perkembangan silek yang mempunyai beberapa jenis seperti :
  1. Silek tuo
  2. Silek harimau
  3. Silek lintau
  4. Silek kumango
  5. Silek balam
  6. Silek sitaralak
  7. Silek luncua
  8. Silek ulu ambek
  9. Silek pauah
  10. dll...

Para Tuo Silek dan Pandeka telah mengembangkan Silat di Nusantara dan memberi pengaruh pada Aliran dan Teknik Silat di Sumatera, Paparan  Sunda dan Semenanjung Melayu. Sifat perantau dari masyarakat Minangkabau telah membuat silek Minangkabau sekarang tersebar kemana mana di beberapa belahan dunia dunia.

Penyebaran dan pengaruh silek di dalam negeri
Silek yang menyebar ke daerah rantau (luar kawasan Minangkabau) ada yang masih mempertahankan format aslinya ada yang telah menyatu dengan aliran silat lain di kawasan Nusantara. Beberapa perguruan silat menyatukan unsur-unsur silat di Nusantara dan Silek Minang masuk ke dalam jenis silat yang memengaruhi gerakan silat mereka. Beberapa contoh yang dapat diberikan adalah:
  • Silek 21 Hari atau dikenal juga dengan nama Silek Pusako Minang : Silat ini berkembang di wilayah perbatasan antara Pasaman dan Provinsi Riau. Silat ini masih jarang diungkapkan di dalam kajian Silek Minangkabau jadi keterangan tentang silat ini masih terbatas dan dalam penelitian. Silat ini lebih menekankan aspek spiritual dan berasal dari kalangan pengamal tarekat di Minangkabau. Saat ini masih ada keturunan Pagaruyung Minangkabau yang mengajarkan silat ini di beberapa kawasan di Provinsi Riau, seperti di Rokan Hulu (Kuntu Darussalam), Mandau Duri, Rokan Hilir, dan Perawang. Silat ini tergolong jenis yang ditakuti di daerah tersebut dan juga berkembang sampai ke Malaysia.
  • Silat Sabandar dari Tanah Sunda dikembangkan oleh perantau Minangkabau yang bernama Mohammad Kosim di Kampung Sabandar, Jawa Barat. Silek ini disegani di Tanah Sunda. Seiring dengan perkembangan dan pembauran dengan tradisi silat di Tanah Sunda, silat ini telah mengalami variasi sehingga bentuknya menjadi khas untuk daerah tersebut.
  • Silat Pangian di Kuantan Singgigi, Provinsi Riau, terdiri dari Silek Pangian Jantan dan Silek Pangian Batino. Silek Pangian ini asalnya dari daerah Pangian, Lintau, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Silek ini adalah silek yang legendaris dan disegani dari wilayah Kuantan. Di Kuantan tentu saja silek ini telah mengalami perkembangan dan menjadi ciri khas dari tradisi wilayah tersebut. Awalnya pendiri dari silek ini adalah petinggi dari kerajaan Minangkabau yang pergi ke daerah Kuantan.
  • Silek Minangkabau menyebar ke daerah Deli (sekitar Medan) di Pesisir Timur Propinsi Sumatera Utara akibat migrasi penduduk Minangkabau di masa lalu. Saat sekarang tradisi silat itu masih ada.
  • Perguruan Silat Setia Hati, adalah perguruan besar dari Tanah Jawa. Pada masa dahulunya, pendiri dari perguruan ini, Ki Ngabei Ageng Soerodiwirdjo banyak belajar dari silek Minangkabau di samping belajar dari berbagai aliran dari silat di Tanah Sunda, Betawi, Aceh, dan kawasan lain di Nusantara. Silek Minangkabau telah menjadi unsur penting dalam jurus-jurus Perguruan Setia Hati. Setidaknya hampir semua aliran silek penting di Minangkabau telah beliau pelajari selama di Sumatera Barat pada tahun 1894-1898. Beliau adalah tokoh yang menghargai sumber keilmuannya, sehingga beliau memberi nama setiap jurus yang diajarkannya dengan sumber asal gerakan itu. Beliau memiliki watak pendekar yang mulia dan menghargai guru.
  • Silat Perisai Diri, yang didirikan oleh RM Soebandiman Dirdjoatmodjo atau dikenal dengan Pak Dirdjo, memiliki beberapa unsur Minangkabau di dalam gerakannya. Silat Perisai Diri memiliki karakter silat tersendiri yang merupakan hasil kreativitas gemilang dari pendirinya. Perisai Diri termasuk perguruan silat terbesar di Indonesia dengan cabang di berbagai negara.
  • Satria Muda Indonesia, yang pada awalnya berasal dari Perguruan Silat Baringan Sakti yang mengajarkan silek Minangkabau, kemudian berkembang dengan menarik berbagai aliran silat di Indonesia ke dalam perguruannya.
  • Silat Baginda di Sulawesi Utara adalah silat yang berasal dari pengawal Tuanku Iman Bonjol yang bernama Bagindo Tan Labiah (Tan Lobe) yang dibuang ke Manado pada tahun 1840. Tan Labiah meninggal dunia pada tahun 1888.
Penyebaran silek di luar negeri
  • Singapura : Posisi Singapura atau dahulu disebut Tumasik yang strategis membuat wilayah ini dikunjungi oleh berbagai bangsa semenjak dahulu kala. Silek Minangkabau telah menyebar ke sana pada tahun 1160 dengan ditandainya gelombang migrasi bangsa Melayu dari Minangkabau.
  • Malaysia: Penyebaran Silek Minangkabau di Negeri Malaysia terjadi terutama akibat migrasi penduduk Minangkabau ke Malaka pada abad ke 16 dan juga karena adanya koloni Minangkabau di Negeri Sembilan. Silek Pangian, Sitaralak, Silek Luncur juga berkembang di negeri jiran ini. Silat Cekak, salah satu perguruan silat terbesar di Malaysia juga memiliki unsur-unsur aliran silek Minangkabau, seperti silek Luncua, Sitaralak, kuncian Kumango dan Lintau di dalam materi pelajarannya. Posisi Malaysia yang rawan dari serangan berbagai bangsa terutama bangsa Thai membuat mereka perlu merancang sistem beladiri efektif yang merupakan gabungan antara beladiri Aceh dan Minangkabau. Beberapa perguruan silat menggunakan nama Minang atau Minangkabau di dalam nama perguruannya
  • Filipina: Penyebaran Islam ke Mindanao, yang dilakukan oleh Raja Baginda, keturunan Minangkabau dari Kepulauan Sulu pada tahun 1390. Penyebaran ini mungkin akan mengakibatkan penyebaran budaya Minangkabau, termasuk silat ke wilayah Mindanao. Bukti-buktinya masih perlu dikaji lebih dalam
  • Brunei Darussalam: Penyebaran Silek ke Brunei seiring dengan perjalanan bangsawan dan penduduk Minangkabau ke Negeri Brunei. Seperti yang sudah dijelaskan pada awal tulisan ini, bahwa silek adalah bagian dari budaya Minangkabau, oleh sebab itu mereka yang pergi merantau akan membawa ilmu beladiri ini ke mana pun, termasuk ke Brunei Darussalam. Kajian hubungan silek Minangkabau dan Brunei masih dibutuhkan, namun yang pasti, para pemuka kerajaan Brunei memiliki pertalian ranji dengan raja-raja di Minangkabau. Ada dugaan bahwa Awang Alak Betatar, pendiri kerajaan Brunei (1363-1402) yang gagah berani berasal dari Minangkabau karena gelar-gelar dari saudara-saudara beliau mirip dengan gelar-gelar dari Minangkabau, namun catatan tertulis diketahui bahwa migrasi masyarakat Minangkabau berawal dari pemerintahan Sultan Nasruddin Sultan Brunei ke-15) tahun 1690-1710 yang ditandai dengan tokoh yang bernama Dato Godam (Datuk Godam) atau Raja Umar dari keturunan Bandaro Tanjung Sungayang, Pagaruyung
  • Austria: Perguruan sileknya bernama PMG=Sentak, dikembangkan oleh Pandeka Mihar
  • Spanyol: Perguruan sileknya bernama Harimau Minangkabau, dikembangkan oleh Guru Hanafi di kota Basque.
  • Belanda:
    • Silek Tuo dikembangkan oleh Doeby Usman,
    • Satria Muda, dikembangkan oleh Cherry dan Nick Smith pada 1971. Mereka adalah murid dari dari Guru W. Thomson,
    • Paulu Sembilan, Silat dari Pauh Sembilan Kota Padang,
  • Hongkong: Perguruannya bernama Black Triangle Silat dikembangkan Pendekar Scott McQuaid. Pendekar Scott adalah termasuk dalam jalur waris dari guru Hanafi, sama dengan Guru de-Bordes di Ghana.
  • Amerika Serikat:
    • Bapak Waleed adalah salah satu tokoh yang mengembangkan silek Minangkabau di USA,
    • Baringin Sakti yang dikembangkan oleh Guru Eric Kruk,
  • Perancis: Perguruannya bernama Saudara Kaum dikembangkan oleh Haji Syofyan Nadar. Perguruan ini juga memiliki guru mengajarkan silat dari Tanah Sunda seperti Maenpo Cianjur (Sabandar, Cikalong dan Cikaret) dan Silat Garis Paksi.
  • Ghana, Afrika: Perguruannya bernama Harimau Minangkabau dikembangkan oleh Guru de-Bordes yang belajar ke Guru Hanafi dengan permainan silat harimau.

Sunday, 9 August 2015

Marawa "Minangkabau's Flag"

Minangkabau Flag by Apipro
Marawa merupakan bendera kebesaran etnis Minangkabau, di mana bendera ini memiliki tiga warna yang mewakili masing-masing derah luhak (daerah induk) di Minangkabau (luhak nan tigo).
  • Warna kuning, melambangkan Luhak Tanahdatar /luhak nan tuo (daerah yang paling tua), Aianyo janiah, ikannyo jinak dan buminyo dingin.
  • Warna merah melambangkan Luhak Agam (airnyo karuah, ikannya lia dan buminyo hangek)
  • Warna hitam melambangkan Luhak Limopuluah Koto /luhak nan bungsu (daerah termuda), aianyo manih, ikannyo banyak dan buminyo tawa.
Makna warna Marawa Kebesaran Alam Minangkabau untuk Setiap warna-warna tersebut mempunyai arti sendiri tidak terkecuali tiangnya.
  • Hitam : Melambangkan tahan tapo serta mempunyai akal dan budi dengan kebesaran Luhak Limopuluah. Kalau acara di wilayah adat Luhak Limopuluah, maka marawanya berwarna hitam sebelah luar.
  • Merah : Melambangkan keberanian punya raso jo pareso dengan kebesaran Luhak Agam. Jika acara di wilayah Luhak Agam maka marawa berwarna merah sebelah luar.
  • Kuning : Melambangkan keagungan, punya undang-undang dan hukum dengan kebesaran Luhak Tanahdata. Jika acara di wilayah LuhakTanahdata, maka marawanya berwarna kuning sebelah luar. 
  • Tiang : Melambangkan mambasuik dari bumi.

Saat ini Marawa biasanya dipasang ketika acara nasional atau acara daerah serta acara keagamaan, seperti; Peringatan 17 Agustus dan hari nasional lainnya, peringatan hari besar Islam (Idul fitri, Idul Adha, Isra’ Mi’raj, Maulid nabi, 1 Muharram dan lainn sebagainya)

Dipakai atau dipasang ketika pelantikan/pengambilan sumpah pejabat nasional dan daerah atau menyambut kunjungan para pejabat Internasional, nasional dan daerah sewaktu berada di sumatera barat atau ranah minang.

Marawa tiga warna dipasang kiri-kanan gerbang tempat upacara pelantikan pejabat di tempat acara tersebut sedangkan marawa yang mendampinginya adalah marawa berwarna satu, berwarna dua yang diambil dari warna marawa kebesaran alam Minangkabau.

Juga dipasang ketika melaksanakan alek nagari (pesta rakyat), baralek (pesta pernikahan) dll.

Saturday, 8 August 2015

Tradisi Bajapuik di Minangkabau

Anak daro tibo
Pariaman adalah satu dari beberapa daerah di ranah Minangkabau yang mempertahankan adat ‘membeli lelaki’ dalam pernikahan. Membeli dengan sejumlah uang ini kerap disebut ‘uang jemputan’ yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Adat ini hanya dianut di daerah Pariaman dan Padang, sedang di daerah lain seperti Payakumbuh, Bukittinggi, dan Solok, tak menganut adat ini. Uang jemputan yang dimaksud bukanlah mahar seperti pernikahan di India sana. Tapi bea yang dikeluarkan pihak perempuan untuk membawa seorang lelaki tinggal di keluarga perempuan.

Sebelum menjelaskan tentang tradisi ini, perlu diketahui bagaimana orang minang memandang adat. Pada prinsipnya orang minang mengklasifikasikan adat menjadi empat macam yakni:

1. Adat Nan Sabana Adat (adat sebenar adat)
Sederhananya, adat nan sabana adat itu merupakan aturan pokok dan falsafah hidup orang minang yang berlaku turun temurun tanpa dipengaruhi oleh tempat dan waktu, istilahnya ialah indak lakang dek paneh, ndak lapuak dek ujan. Dalam hal ini saya mencontohkan seperti sistem materlineal dan falsafah alam takambang jadi guru (Alam yang membentang dijadikan guru) yang dipakai oleh orang minang.

2. Adat Nan Diadatkan (adat yang diadatkan)
Kemudian adat nan diadatkan merupakan peraturan setempat yang diputuskan secara musyawarah dan mufakat atau aturan yang berlaku disuatu nagari (negeri/daerah) tertentu.
Misalnya tata cara atau syarat-syarat pengangkatan penghulu dan tata cara perkimpoian. Sehingga adat perkimpoian antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam Minangkabau berbeda-beda, tata cara perkimpoian di Pariaman berbeda dengan tata cara perkimpoian di dareah lainya seperti di limapuluh kota, agam dan daerah lainnya.

3. Adat Nan Taradat (adat yang beradat)
Sedangkan adat nan taradat merupakan kebiasaan seorang dalam kehidupan bermasyarakat, misalanya seperti tata cara makan. Jika dahulu orang minang makan dengan tangan, maka sekarang orang minang sudah menggunakan sendok untuk makan.

4. Adat Istiadat
Terakhir ialah adat istiadat yang merupakan kelaziman dalam sebuah nagari atau daerah yang mengikuti situasi masyarakat.

Untuk itu, tradisi bajapuik yang termasuk kedalam kategori adat nan diadatkan.
Pada umumnya bajapuik (dijemput) merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang minang dalam prosesi adat tersebut, karena dalam sistem matrilineal posisi suami (urang sumando) merupakan orang datang. Oleh karena itu, diwujudkan kedalam bentuk prosesi bajapuik dalam pernikahan.

Namun, di Pariaman prosesi ini diinterpretasikan kedalam bentuk tradisi bajapuik, yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti uang. Sehingga kemudian dikenal dengan uang japutan (uang jemput), agiah jalang (uang atau emas yang diberikan oleh pihak laki-laki saat pasca pernikahan) dan uang hilang (uang hilang).

Pengertian uang jemputan adalah Nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak Pengantin Pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dengan nilai yang diberikan oleh keluarga Pihak Pengantin Wanita sebelumnya kepada keluarga Pengantin Pria. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) berkunjung atau Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak Marapulai sebelumnya karena ini menyangkut menyangkut gensi keluarga marapulai itu sendiri.

Secara teori tradisi bajapuik ini mengandung makna saling menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki. Ketika laki-laki dihargai dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan dihargai dengan uang atau emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik atau dinamakan dengan agiah jalang. Kabarnya, dahulu kala, pihak laki-laki akan merasa malu kepada pihak perempuan jika nilai agiah jalangnya lebih rendah dari pada nilai uang japuik yang telah mereka terima, tapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Bahkan dalam perkembangnya muncul pula istilah yang disebut dengan uang hilang.

Uang hilang ini merupakan pemberian dalam bentuk uang atau barang oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki, yang sepenuhnya milik laki-laki yang tidak dapat dikembalikan. Fakta dilapangan mencatat bahwasanya perbedaan antara uang japuik dan uang hilang semakin samar, sehingga masyarakat hanya mengenal uang hilang dalam tradisi bajapuik.

Bedakah masing-masing UANG JEMPUTAN & UANG HILANG?
Umumnya masyarakat yang awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja antara Uang Jemputan dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang Pariaman mengerti tentang masalah ini. Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah.
Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu :
gelar dari ayah
gelar dari mamak (paman)

Hanya saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar Malin saja, misalnya dapat kita contohkan pada seorang tokoh minang yang berasal dari Pariaman, yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria dan Gubernur Sumbar). Beliau mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan mendapat gelar Datuak Sinaro dari Ninik Mamaknya. Sehingga lengkaplah nama beliau berikut gelarnya Prof. Drs. Sidi Harun Alrasyid Zein Datuak Sinaro (dari persukuan Piliang).
Lantas siapakah mereka pemegang gelar yang 3 itu?
Gelar Sutan dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada petinggi atau bangsawan Istano Pagaruyuang yang ditugaskan sebagai wakil raja di Rantau Pasisia Piaman Laweh. konsep luhak Bapanghulu - Rantau barajo, seperti :
- Rajo Nan Tongga di Kampuang Gadang Pariaman,
- Rajo Rangkayo Basa 2×11 6 Lingkuang di Pakandangan,
- Rajo Sutan Sailan VII Koto Sungai Sariak di Ampalu,
- Rajo Rangkayo Ganto Suaro Kampuang Dalam,
- Rajo Tiku di Tiku dll
Gelar Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para Petinggi Aceh yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah Pariaman & Tiku pernah dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan Sultan Iskandar Muda.
Gelar Sidi diberikan kepada mereka2 yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam didaerah Pariaman.
Kesimpulannya uang jemputan tidak sama dengan uang hilang. Uang jemputan memiliki kewajiban dari keluarga marapulai untuk mengembalikan kepada anak daro dalam bentuk perhiasan atau pemberian lainnya pada saat dilangsungkan acara Manjalan Karumah Mintuo.