Wednesday 13 August 2014

Bahasa Campur Kode di Kampung Pondok, Padang

BAHASA CAMPUR KODE
DI KELURAHAN KAMPUNG PONDOK,
 KECAMATAN PADANG BARAT

Padli Ramadhan
Universitas Andalas

ABSTRAK
Campur kode merupakan terjadinya pencampuran dua bahasa atau lebih dalam suatu peristiwa tutur. Kemampuan menguasai bahasa dari penutur dan petutur sangat penting di dalam peristiwa ini. Salah satu contoh daerah di Indonesia yang masyarakatnya merupakan masyarakat bilingual (dwibahasa) adalah pada kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat. Karena adanya interaksi antar etnik Minang dengan etnik Cina yang sudah lama, maka keganjilan berbahasa dalam setiap peristiwa tutur mengakibatkan adanya campur kode, inilah yang  penulis ingin paparkan dan menjadi sumber masalah dalam penelitian ini.
Penelitian ini bertujuan memaparkan mengenai bahasa campur kode dan faktor penentunya yang ada di kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat.
Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan Sosiolinguistik dan merupakan sebuah penelitian lapangan. Metode simak bebas libat cakap dan wawancara merupakan metode yang digunakan dalam pengumpulan data. Teknik catat digunakan juga dalam proses pengumpulan data. Data dalam penelitian ini berupa tuturan masyarakat di  kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat yang di dalamnya mengandung unsur campur kode.
Campur kode bahasa pada penelitian ini dilihat dalam dua faktor, yaitu faktor lingual dan factor non-lingual. Campur kode yang terjadi di kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat terdiri dari; Campur kode pada Bahasa Cina (BC) di dalam Bahasa Indonesia (BI), campur kode Bahasa Cina di dalam Bahasa Minang (BM), serta campur kode Bahasa Cina (BC) dan Bahasa Minang (BM) di dalam Bahasa Indonesia (BI).

Kata kunci:
sosiolinguistik, campur kode, etnis cina, minangkabau.

1.      PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi memegang peranan yang penting dalam berbagai ranah, seperti pemerintahan, keluarga, agama, etnik, maupun pendidikan. Dalam ranah etnik bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa umum yang menyatukan berbagai macam etnik yang ada di negri ini. Sebagai penghubung komunikasi yang baik, bahasa Indonesia melebur di dalam keseharian masyakarat etnik manapun.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung dalam  komunikasi antar etnik itu memang perlu dipertahankan. Namun ada beberapa hal yang harus kita ingat bahwa berdasarkan aspek linguistik, “masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual (dwibahasa) yang menguasai lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing” (Nababan, 1992:27). Masyarakat yang dwibahasa akan mengalami kontak bahasa sehingga melahirkan campur kode.
Campur kode merupakan terjadinya pencampuran dua bahasa atau lebih dalam suatu peristiwa tutur. Kemampuan berbahasa dari penutur dan petutur sangat penting di dalam peristiwa ini. Salah satu contoh daerah di Indonesia yang masyarakatnya merupakan masyarakat bilingual (dwibahasa) adalah pada kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat. Daerah ini merupakan daerah pemukiman yang dihuni oleh para keturunan etnis Cina yang telah membaur dengan masyarakat Minangkabau sejak lama. Disebabkan oleh adanya interaksi antar etnik Minang dengan etnik Cina yang sudah lama, maka keganjilan berbahasa dalam setiap peristiwa tutur mengakibatkan adanya campur kode, inilah yang  peneliti ingin paparkan dan menjadi sumber masalah dalam penelitian ini.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan memaparkan mengenai bahasa campur kode dan faktor penentunya yang ada di kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat.
1. 3 Metode dan teknik
Metode dan teknik merupakan konsep yang berbeda, tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Metode dan teknik adalah cara yang dipakai dalam melakukan suatu upaya. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, dan teknik adalah cara melaksanakan metode tersebut (Sudaryanto, 1993: 9).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi/ simak. Peneliti melakukan observasi langsung ke daerah Kampung Pondok di kota Padang. Metode Simak bebas libat cakap digunakan di dalam observasi penelitian. Dilanjutkan dengan teknik wawancara di dalam pengumpulan data yang lebih mendalam. Dengan wawancara banyak informasi didapatkan dari narasumber/ informan. Data yang diperoleh dikumpulkan dengan teknik catat yang langsung dilakukan pada saat sesi wawancara. Pada pembahasan data disajikan dalam bentuk peristiwa tutur.

2. PEMBAHASAN
2.1 Campur Kode
Ketika suatu kelompok masyarakat memiliki bahasa daerah tersendiri, maka bahasa itu akan berinteraksi dengan bahasa yang lain. Dari interaksi-interaksi yang terjadi itu akan menghasilkan sebuah bahasa campur kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul ragam bahasa Indonesia yang keminang-minangan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Minang) atau bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa). Jadi di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode (Chaer: 1995:151) .
Sumarsono (2002:202-203) menyatakan bahwa “campur kode terjadi apabila penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu”. Misalnya, ketika berbahasa Indonesia, seseorang memasukan unsur bahasa Bali.
Nababan (1992) memaparkan pengertian tentang campur kode sebagai pencampuran dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak bahasa tanpa ada situasi yang menuntut pencampuran itu. Ditambahkan pula, percampuran bahasa tersebut disebabkan oleh kesantaian atau kebiasaan yang dimiliki oleh pembicara dan biasanya terjadi dalam situasi informal.
Sejalan dengan pendapat Nababan, Jendra (1991) menyatakan bahwa campur kode tidak dituntut oleh situasi dan konteks pembicaraan tetapi lebih ditentukan oleh pokok pembicaraan pada saat itu. Campur kode disebabkan oleh kesantaian dan kebiasaan pemakai bahasa dan pada umumnya terjadi dalam situasi informal.
Selanjutnya dikatakan bahwa campur kode terjadi di bawah tataran klausa dan unsur sisipannya telah menyatu dengan bahasa yang disisipi. Selanjutnya Jendra (1991:123) menambahkan bahwa “seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu, yaitu adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa ( Language dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu bahasa namun, unsur bahasa lain mempunyai funsi dan peranan yang berbeda”.
Dari beberapa pendapat dan pandangan para ahli mengenai campur kode dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan peristiwa penggunaan bahasa atau unsur bahasa lain ke dalam suatu bahasa atau peristiwa pencampuran bahasa. Peristiwa campur kode dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari pada interaksi sosial masyarakat kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat. Terjadinya campur kode biasanya disebabkan oleh tidak adanya padanan kata dalam bahasa yang digunakan untuk menyatakan suatu maksud.
2.2 Campur Kode di Kampung Pondok
Bahasa campur kode di Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat sudah terjadi pada sejak lama di kalangan masyarakatnya. Fenomena ini terjadi pada peristiwa tutur di rumah maupun peristiwa tutur di luar rumah . Tidak ada yang mengetahui secara pasti sejak kapan mereka mulai terbiasa dengan bahasa yang bercampur tersebut.
Bagi masyarakat di daerah ini, mereka tidak menyadari bahwa tindak tutur mereka merupakan peristiwa campur kode. Mereka hanya tahu bahwa terdapat pencampuran dalam berbahasa sehari-hari merekadan itu merupakan hal yang biasa. Bentuk bahasa campur kode yang terjadi di Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat dapa dilihat melalui peristiwa tutur (1) dan peristiwa tutur (2) pada pembahasan selanjutnya.
2.3 Faktor Situasional
Merujuk kepada apa yang dikemukakan oleh Fishman dalam Suwito (1982: 2-3) bahwa dalam berkomunikasi, terdapat faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa, yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan mengenai masalah apa atau dirumuskan dengan “Who speaks what language to whom and when”.
Siapa yang berbicara dapat diartikan sebagai penutur yang berasal dari golongan mana, kedudukannya dalam masyarakat, pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Semua ini sangat mempengaruhi pemilihan kata di dalam berkomunikasi. Kepada siapa berbicara juga ikut mempengaruhi penutur dalam memilih kata-kata yang sesuai dengan situasinya. Apabila berbicara dengan orang yang seprofesi dengan penutur, maka ada kemungkinan mereka akan berbicara dengan menggunakan istilah-istilah yang berlaku dalam bidang tersebut. Kapan berbicara dapat dipahami sebagai situasi yang bagaimana komunikasi itu berlangsung, misalnya situasi santai dan situasi resmi akan mempengaruhi pemilihan kata.
Mengenai masalah dapat diartikan sebagai topik pembicaraan. Menurut Pateda (1987: 23), topik pembicaraan mencakup fokus pembicaraan, kualitas pembicaraan formal atau informal, dan pembicaraan yang intim. Bila topik pembicaraan masalah kebahasaan, maka dengan sendirinya istilah-istilah kebahasaan akan muncul tanpa khawatir lawan bicara tidak memahami apa yang dibicarakan. Setting (latar) merupakan tempat berlangsungnya pembicaraan, seperti yang dikemukakan oleh Suwito (1982: 29) bahwa setting adalah tempat bicara dan suasana bicara.
Dalam percakapan masyarakat Kampung Pondok ditemukan faktor situasional, yaitu:.
(Peristiwa tutur 1)
Tiffany:“Chen..”.
  “Chen..”.
Chen:   “Apo dek lu?”
“Ada apa?”
Tiffany: Ado lu buek tugas? Gua belum buek gi  do, boleh gua pinjam?”
            “Ada kamu buat tugas? Aku belum buat lagi nih, boleh aku pinjam?”
Chen:   “ gua belum lo siap gi do. Ho na, awak pinjam se tugas anak-anak tu”.
“ aku belum siap juga lagi. Ya sudah, kita pinjam saja tugas anak-anak itu”.
Tiffany:“Masalahnya, dorang tu belum siap juga gi do”.
             “Masalahnya, mereka itu belum siap juga lagi”.
Dalam wacana percakapan di atas terdapat campur kode Bahasa Cina (BC) dan Bahasa Minang (BM) dalam Bahasa Indonesia (BI). Hal itu terlihat dari percakapan dua anak remaja di atas yang menggunakan kata BC, yaitu  Ho na, ‘Ya sudah’ dan kata BM, yaitu awak se’kita saja’  diantara BI tidak baku pada kata-kata gua belum lo siap gi do, ‘aku belum siap juga lagi’ dan  pinjam tugas anak-anak tu, ‘pinjam tugas anak-anak itu’. Campur kode BI dalam BM terlihat pada BI tidak baku kata lu’kamu’ diantara BM pada kata  Apo dek ’ada apa’ dan BI tugas diantara BM pada kata ado buekada buat’. Kemudian campur kode BC dalam BI tidak baku dapat terlihat pada kata dorang ’mereka’ diantara Masalahnya, tu belum siap juga gi do’masalahnya itu belum siap juga lagi’.
Bahasa campur kode yang terjadi dalam percakapan remaja seperti contoh di atas, terjadi pada saat berada di kantin sekolah. Sebagaimana halnya kantin, maka di sana akan tercipta suasana yang santai untuk berbincang dengan teman-teman sekolah. Chen dan Tiffany berbincang berdua mengenai tugas sekolah mereka, namun dengan suasana yang santai membuat mereka leluasa berbincang dan membiarkan terjadi keganjilan berupa campur kode dalam struktur bahasa tuturnya..
2.4 Faktor Lingual
Faktor lingual disebut juga dengan faktor bahasa. Dalam proses interaksi sosial masyarakat  media yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa lisan. Penutur dalam pemakaian bahasanya sering mencampurkan bahasanya dengan bahasa lain sehingga terjadi campur kode.
Tataran Kata
Campur kode secara lingual meliputi beberapa tataran yang berbeda, seperti tataran kata, frase, klausa, dan kalimat.  Berdasarkan data yang dipilah, ditemukan adanya campur kode antara bahasa Minang dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. Dalam percakapan masyarakat ditemukan pada tataran kata, yaitu:
(Peristiwa tutur 2)
Paman: koh.
              “bang”.
Ponakan: “iya, apa om?”
                 “iya apa om?”.
Paman:            Pegi ke warung beli gula separampek, telok lima, tepung setengah kilo!”
 “Pergi ke warung beli gula seperempat, telur lima, tepung setengah kilo!”.
Ponakan: Duiknya lebih buat gua ya?”.
                 “duitnya lebih untuk aku ya”.
Paman:            chin chai, cepak lah sana”.
 
“terserah saja, cepatlah sana”.
Dalam wacana percakapan di atas, terdapat campur kode BC pada kata-kata koh’bang’, pegi ‘pergi’, telok ‘telur’, duiknya ‘duitnya’, cepakcepat’, dan chin chai ‘terserah saja’. Kemudian BM pada kata BI separampek ’seperempat’ diantara BI pada kata iya apa om, ke warung beli gula, tepung setengah kilo, lebih buat aku ya.
Campur kode pada BC yang ditunjukkan oleh kata chin chai ‘terserah saja’, merupakan istilah dalam BC yang digunakan dalam tataran kata si Paman kepada Ponakan.
2.5 Faktor Non-Lingual
Faktor non lingual yang dibahas tentu saja faktor yang berada di luar bahasa, seperti siapa yang berbicara, bila dan di mana, serta topik yang sedang dibicarakan.
Faktor non lingual disebut juga dengan faktor non bahasa atau disebut juga dengan faktor penutur. Penutur atau pembicara terkadang sengaja bercampur kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode antara bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena kebiasaan dan kesantaian situasi percakapan
2.5.1 Siapa yang Berbicara
Campur kode yang disadari oleh penutur biasanya terjadi karena penutur mempunyai maksud-maksud tertentu. Dalam bahasa para remaja misalnya, campur kode ke Bahasa Cinabermaksud untuk mengakrabi atau untuk mengungkapkan gagasan yang ditujukan pada diri sendiri, serta untuk menyampaikan maksud dan tujuan. Hal ini dipengaruhi oleh watak remaja yang cenderung tidak mau berlama-lama dalam menyampaikan maksudnya, mereka lebih santai dalam mengatakan apa yang ingin dikatakan.
Pada dasarnya bahasa campur kode yang dipergunakan oleh remaja di kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat adalah dikarenakan faktor sosial, pendidikan, bahasa, dan sikap dari remaja itu sendiri. Tidak setiap anak remaja memiliki sikap yang sama dalam berbahasa. Dalam hal ini adalah remaja yang mana mereka setiap hari berinteraksi dengan anak-anak remaja lain dengan latarbelakang yang berbeda-beda.
Pada campur kode Bahasa Cina antara paman dengan keponakannya dapat dilihat dari segi penuturnya. Seorang paman yang sudah dewasa dan cukup umur menggunakan istilah chin chai ‘terserah saja’ kepada ponakannya yang berbahasa Indonesia. Dalam hal ini berarti seorang paman lebih leluasa dalam berbahasa dibandingkan ponakannya dilihat dari cara dia menyebutkan istilah dalam Bahasa Cina.
Karena usia dan status social di dalam keluarga lebih tinggi, maka si Paman dalam berbahasa kepada Ponakan tanpa canggung. Tanpa memikirkan struktur bahasa yang digunakan, dan keganjilan dalam penuturan bahasa tidak terlalu diperhatikan, rasa tanpa canggung itu  membuat hadir bahasa campur kode.

2.5.2 Kapan dan Dimana
            Karena peristiwa campur kode dapat dilihat dari berbagai faktor, maka penting rasanya untuk melihat dari aspek kapan dan dimana campur kode itu terjadi. Seorang penutur tidak selamanya menggunakan bahasa campur kode dalam setiap interaksi sosialnya. Waktu dan tempat merupakan situasi yang sangat penting dalam memperhatikan peristiwa campur kode.
            Bahasa campur kode yang terjadi dalam percakapan remaja seperti contoh di atas, terjadi pada saat berada di kantin sekolah. Sebagaimana halnya kantin, maka di sana akan tercipta suasana yang santai untuk berbincang dengan teman-teman sekolah. Chen dan Tiffany berbincang berdua mengenai tugas sekolah mereka, namun dengan suasana yang santai.
            Peran waktu dan tempat di dalam terjadinya peristiwa campur kode memang tidak terlalu utama, karena seperti yang telah disebutkan bahwa dalam peristiwa campur kode terdapat beberapa faktor penyebabnya. Namun, dalam waktu dan tempat tertentu yang mampu menghadirkan suasana santai dan tidak formal biasanya berpeluang besar untuk terjadinya peristiwa campur kode.

2.5.3 Topik Pembicaraan
            Topik pembicaraan dalam setiap peristiwa campur kode tentunya berbeda-beda. Tidak bisa ditentukan pada topik apa saja terdapat bahasa campur kode, hal ini sekali lagi mengisyaratkan bahwa campur kode tidak tergantung pada suatu faktor tertentu.
            Dua contoh percakapan yang ditampilkan di atas memiliki topik yang berbeda dan bahasa campur kode yang terjadi tidak mengisyaratkan kepada topik-topik tertentu. Namun topik pembicaraan di sini dapat dilihat sebagai wadah bagi si penutur untuk menyampaikan emosi atau sikapnya dalam bentuk bahasa campur kode.

3. PENUTUP
Kesimpulan
Faktor-faktor penentu campur kode terdiri dari faktor lingual dan faktor non lingual. Faktor lingual merupakan faktor bahasa sedangkan faktor non lingual merupakan faktor non bahasa yang mempengaruhi peristiwa campur kode di kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat.
Bahasa campur kode yang terjadi di kelurahan Kampung Pondok, kecamatan Padang Barat terdiri dari:
1)      Campur kode pada Bahasa Cina di dalam Bahasa Indonesia,
2)      Campur kode Bahasa Cina di dalam Bahasa Minang, serta
3)      Campur kode Bahasa Cina dan Bahasa Minang di dalam Bahasa Indonesia.

Saran
            Sesungguhnya masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Semoga dari penelitian yang singkat ini dapat menjadi awal bagi penulis sendiri khususnya dan yang lain pada umumnya untuk melanjutkan penelitian di bidang lingustik, khususnya tentang campur kode.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Jendra. 1991. Dasar-dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.
Nababan. 1992. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pateda, Mansur. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Sudaryanto. 1993. Metode Linguistik; Bagian Kedua (Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data)
. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1983. Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Hendry Offset.


No comments: