Saturday, 23 August 2014

Pantun Malam Minggu

Galang ameh di ateh buku,
Buku dibali dunsanak ibu, ameh barek satangah kilo;
Malang nasib di malam minggu,
Duduak surang di muko pintu, mancaliak urang jalan baduo-duo,
...................................................
Malam minggu nonton tv,
Sambia makan jaguang panggang,
Alah panjang lihia dek mananti,
Nan dinanti ndak kunjuang datang.
.....................................................
Makan nasi jo gulai bada,
Bada di jamua di ateh atok,
Urang malam minggu pai malala,
Awak dirumah ba pupuah lalok
.....................................................
Pantun Lainnya:
Pantun Mudo-Mudi
Pantun Marantau
Pantun Anak Mudo
Bagurau

Thursday, 21 August 2014

Cagar Budaya (Prasasti)

prasasti lubuk layang
Prasasti ini terletak di Jorong Simpang IV, Desa Kubu Sutan, Kecamatan Rao Selatan, Nagari Lubuk Layang, Kabupaten Pasaman. 

Prasasti ini ditulis pada sebuah lempengan batuan sandstone yang kondisinya saat ini dalam posisi miring karena sebagian terbenam dalam tanah. Ukuran lempengan prasasti yang tampak di permukaan adalah panjang 85 cm, sedangkan sisi lainnya dalam kondisi terbenam dan menyisakan permukaan batu sepanjang 43 cm. Lebar batu adalah 42 cm dan tebal 16 cm.

Di bagian atas batu prasasti tersebut saat ini pecah.
Tulisan terdapat di dua sisi. Sisi depan terdiri dari 9 baris, dan beberapa penulisan di bagian atas hilang.
Di sisi belakang terdapat 7 baris tulisan.
Kondisi penulisan secara umum telah memudar, mengingat bahan yang digunakan cenderung rapuh sehingga menyulitkan upaya pembacaan.

Buchari dan Satyawati Sulaiman sependapat bahwa terdapat 2 jenis tulisan pada prasasti Lubuk Layang atau disebut juga dengan Prasasti Kubu Sutan.
Kedua tulisan tersebut agak berbeda dengan penulisan yang biasa dipakai Adityawarman namun penulisan tersebut sangat jauh berbeda dengan tulisan yang umum dipakai rajaraja Sriwijaya.
Tulisan tersebut lebih mirip dengan pertulisan yang dipakai di Kamboja.

Kemungkinan penulisan tersebut berkaitan dengan Adityawarman, mengingat kebiasaannya menggunakan huruf dan bahasa yang berbeda.
Keletakan prasasti Kubu Sutan berada di antara dua pusat kebudayaan besar, yaitu Pagaruyung dan Padang Lawas, tentu saja keduanya membawa pengaruh yang cukup kuat.
Hal yang sama juga diketahui dari temuan prasasti yang terdapat daerah aliran Sungai Ganggo Hilia.

Prasasti ini menggunakan setidaknya dua junis huruf dan bahasa yang berbeda, salah satunya adalah penggunaan Bahasa Jawa.
Adapun isi dari penulisan prasasti tersebut adalah pengumuman mengenai penggunaan mata air, yang boleh dipakai oleh siapa saja, bahkan untuk ternak.

Tidak diketahui siapa yang menulis prasasti tersebut dan untuk tujuan apa sehingga perlu dituliskan dengan huruf dan bahasa yang berbeda?
Hal ini menunjukkan bahwa di daerah tersebut terdapat dua kelompok yang menggunakan dua bahasa yang berbeda.


Lembah Anai Tempo Dulu

lembah anai pada 1892
Foto ini merupakan hasil jepretan seorang fotografer terkenal yaitu C. Nieuwenhuis pada bulan Desember 1892. Sekarang merupakan koleksi dari KITLV di Leiden, Belanda. Teks pada laman KITLV yang mengiringi foto ini adalah :

Jembatan beratap dari Perkeretaapian Negara di pantai barat Sumatra di Lembah Anai dengan latar belakang saat banjir air terjun besar “Air Mantjoer” pada bulan Desember.

Perhatikan bahwa pada saat itu jembatan diberi atap. Ini mungkin berguna untuk orang berteduh saat hujan, mengingat kendaraan yang ada pada saat itu adalah kuda (selain kereta api).

Yang berkelok mulus di bagian atas, adalah jalan kereta api. Sedangkan jalan raya hanya sepenggal. Dari jembatan beratap, jalan itu sepertinya lenyap. Mungkin sebagian besar adalah jalan setapak atau malah belum ada. Hal ini karena jalan kereta api lah yang lebih dahulu di bangun oleh Belanda pada akhir abad ke-19 sebelum membenahi jalan raya antara Padang-Bukittinggi


Wednesday, 20 August 2014

Cagar Budaya


Untuk mengenal dan mengingatkan kembali tentang budaya Minangkabau yang mendarah daging di setiap nadi orang Minang, dapat dilhat artikel-artikel yang ada di bawah ini :

Rumah Gadang Mande Rubiah
Urang Kubu
Situs Makam HAKA
Rumah Gadang di Nagari Silokek

Bagurau

Jikok dipikia di kana kana
Dibaco sifat manusia
Tantu ndak ado nan sempurna
Tapi Tuhan mambari baka
Dengan babagai ilmu dan aka
Hanyo kito acok alpa
Banyak lupo pado takana
Karano di hati nan sakapa
Syetan mambuek singasana
Bakarajo mo jo si hawa
Iko nan marajalela
Mambuek musibah dan bencana
Sajak dari kampuang jo desa
Sampai ka Nagari jo Negara
kito lah lupo jo Nan Esa
Ndak lai pandai bado’a
Hiduik lah takaja kaja
Dikaja harta dan tahta
Dikaja tamak loba
Dikaja ria dan riba
Kadang sampai lupo jo nyawa
Lupo adab jo etika
Dima duduak disinan manggata
Indak piduli itu sia
Bak kacang miang tumbuah di paga
Mancari urang ka manyanda
Lah anampuluah sambilan tahun kito merdeka
Apa hendak di kata
Samakin dakek jo derita
Samakin akrab jo sengsara
Harago tinggi sagalo maha
Pado mambali banyak tajua
Pado tabao banyak nan tingga
Akhianyo banyak ngango jo nganga
Hahahaha...

Rumah Gadang Mande Rubiah

Rumah Gadang Mande Rubiah
Di Lunang ini terdapat keluarga Mande Rubiah yang dipercaya merupakan keturunan Bundo Kanduang, seorang raja perempuan Minangkabau yang menyelamatkan diri dari musuhnya yang menyerang Pagaruyung dari Timur. Ia menyelamatkan diri bersama anak dan menantunya ke daerah ini. Hingga kini masih didapati makam keluarga Kerajaan Pagaruyung di nagari Lunang dan juga sebuah rumah gadang yang tak lain adalah istana Bundo Kanduang.

Di Lunang ini mayoritas didiami oleh pecahan Suku Malayu yang secara historis merupakan keturunan dari pendatang dari Sungai Pagu dan daerah lain di sekitar Lunang. Selain itu juga terdapat Suku Caniago di nagari ini. adapun nama-nama suku di Nagari Lunang adalah : Malayu, Malayu Gadang Rantau Kataka, Malayu Gadang Kumbuang, Malayu Durian/Rajo, Malayu Kecik, Malayu Tangah, Caniago Patih dan Caniago mangkuto.

Mande Rubiah sekarang bernama kecil Rakinah. Suami beliau bernama Suhardi sutan Indera (suku Malayu Gadang Rantau Kataka) dan 7 orang anak (6 Putera dan 1 Puteri) ; Mar Alamsyah Sutan Daulat, Zulrahmansyah Daulat Rajo Mudo,SS, Noval Nofriansyah, Marwansyah, Zaitulsyah, Heksa Rasudarsyah, Naura Puti kabbarasti.

Sebelum tahun 70 an daerah ini menutup diri dari dunia luar. Tahun 1971, wali nagari dan tokokh2 Masyarakat kampung dan perantau mengusulkan kepada bupati Pessel waktu itu Drs. Abrar, daerah ini diusulakan ke pemerintah pusat sebagai penerima Transmigrasi dari pulau Jawa. Usulan tersebut tereleasasi tahun 1973. Semenjak itu terjadi asimilasi antara suku jawa dan minang yang saling menghargai. Secara berangsur perekonomian mulai membaik. pun budaya berkembang



Tuesday, 19 August 2014

Gempa di Padang Panjang 7,6 SR

Gempa 1926
Reruntuhan rumah di kota Padangpandjang setelah gempa besar 1926 (Gempa Darat). Termasuk yang rata dengan tanah adalah rumah ayah Buya Hamka.

Gempa bumi Padang Panjang 1926 adalah gempa bumi berkekuatan 7,6 SR yang berpusat di Padang Panjang yang terjadi pada 28 Juni 1926. Gempa ini mengakibatkan sejumlah kerusakan di berbagai tempat, tanah terbelah dan longsor seperti di Kubu Karambia dan Simabua. Selain di Padang Panjang, gempa ini juga dirasakan di sekitar Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Solok, Sawahlunto, dan Alahan Panjang.

Gempa yang meluluhlantakkan Padang Panjang dan sekitarnya ini diperkirakan telah menelan setidaknya 354 korban jiwa. Gempa susulan juga mengakibatkan kerusakan pada sebagian Danau Singkarak. Di Kabupaten Agam, sebanyak 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang meninggal, dan 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sendiri 2.383 rumah roboh dan 247 orang meninggal.

Suku Kubu atau Urang Kubu

Sekelompok orang Kubu pada tahun 1930-an
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Mereka diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas daerah ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.

Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.

Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan.

Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam.

Indonesia Merdeka, Hatta baru Menikah

Repro "Muhammad Hatta, Hati Nurani Bangsa", karya Deliar Noer
Mohammad Hatta berjanji baru akan menikah setelah Indonesia merdeka.

KETIKA menjadi mahasiswa di Belanda, Mohammad Hatta selalu serius belajar. Sekalipun banyak mahasiswi mengaguminya, dia tak menunjukkan ketertarikan. Penasaran, kawan-kawannya menyuruh seorang mahasiswa Polandia yang cantik untuk menggodanya tapi tak berhasil.

Halida Hatta, putri bungsu Hatta, ini karena ayahnya ingin menyelesaikan studi dengan baik sebagai modal dasar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” ujar Halida.

Dan selama Indonesia belum merdeka, Hatta berjanji tak akan menikah.

Namun, menurut Mavis Rose, Hatta sempat menaklukkan hati gadis cantik bernama Anni, anak Tengku Nurdin, seorang pengalihbahasa pemerintahan Aceh. Perekatnya bukan cinta romantis tapi semangat nasionalis –Anni adalah aktivis perempuan, pernah menjadi prasaran dalam Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung. Bahkan keduanya sudah bertunangan. “Namun romansa ini tak berlanjut ke jenjang pernikahan,” tulis Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta..

Anni kemudian menikah dengan Abdul Rachim, kawan dekat Bung Karno, dan memiliki dua putri: Rachmi dan Titi.

Setelah Indonesia merdeka, Hatta akhirnya menentukan gadis pilihannya. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” ujar Sukarno kepada R. Soeharto, dikutip Saksi Sejarah. “Setelah saya selidiki ternyata gadis pilihan Hatta itu Rahmi, putri keluarga Rachim.”

Di tengah malam, ditemani R. Soeharto, Sukarno mendatangi rumah keluarga Rachim dan melamar Rahmi untuk Hatta.

Pada 18 November 1945, Hatta menikahi Rahmi di sebuah villa di Megamendung, Bogor. Sebagai mas kawin, Hatta memberikan buku yang ditulisnya saat dibuang di Digul pada 1934, Alam Pikiran Yunani.

“Apakah Hatta melihat sifat Rahmi Rachim yang sebelumnya begitu dia kagumi pada diri ibunya, dia tidak menyebutkan,” tulis Mavis. “Bahkan, dalam memoar Hatta pernikahannya hanya ditandai dengan sebuah foto pasangan pengantin.”

Halida menyebut Mavis Rose salah kaprah. Menurutnya, Anni bertemu kali pertama dengan Hatta pada 1945 ketika Sukarno datang melamar Rahmi untuk Hatta. “Karena Bung Hatta dan nenek saya (mertua Hatta) beda usia cuma sembilan hari, maka keluarlah cerita seperti itu,” kata Halida.

Sebagai pasangan, Hatta tentu saja kerap menunjukkan sisi romantis. Ketika istrinya hendak melahirkan anak pertama, Hatta masuk ke kamar bersalin dengan membawa sandwich buatannya. Hatta juga selalu memberikan tempat di dalam mobil yang bebas dari terpaan sinar matahari kepada istrinya ketika bepergian. Namun, di depan anak-anaknya, “mereka tak memperlihatkan bahasa tubuh yang romantis,” kata Halida.

Hatta juga punya perhatian terhadap fisik istrinya. Tak suka istrinya menjadi gemuk, dia pernah meminta Raharti Subijakto, adik Rahmi, untuk mengingatkan kakaknya. “Dalam pemikiran Bung Hatta,” kata Halida, “pembicaraan akrab di antara dua orang saudara perempuan akan melunakkan sensitivitas isu kegemukan.”

Selama mengarungi biduk rumah tangga, hidup mereka aman-tenteram dengan dikaruniai tiga anak perempuan.

Meski terpaut usia 24 tahun, Rahmi bahagia dan setia mendampingi Hatta. “Setiap kesempatan yang kami jalani bersama terasa indah dan berharga, seperti serangkaian permata yang berharga,” kata Rahmi

Monday, 18 August 2014

Pantun Marantau

Luruih jalan ka parumpuang,
Rumah sikola tantang surau,
Nampak nan dari balai ruang;
Jikok indak karano untuang,
Indak ka denai pai marantau,
Ibo bacarai jo mandeh kanduang.
.................................................
Tinggi-tinggi tabangnyo bangau,
Pulangnyo ka kubangan juo,
Sajauh-jauh uda marantau,
Adiak di kampuang takana juo
.................................................
Pantun lainnya :
Pantun mudo-mudi

Pantun Mudo-mudi

Jikok lai pandai adiak manimbang,
Tolong ditimbang samo barek,
Usah dikaja buruang nan tabang,
Tunggulah hinggok baru mandakek
....................................................
Panjang-panjang aka di rimbo,
Lah malilik dahan jo batang,
Kalau di hati lah baparo,
Elok diungkai kasiah jo sayang
...................................................
Banyak karambia di pariaman,
Dibaok urang molah kapakan,
Bilonyo tangan sabimbiangan,
Denai mamacik adiak nan malapehkan
....................................................
Pantun lainnya :
Pantun Marantau
Bagurau
Pantun Anak Mudo
Kato Pusako-Pitaruah Bundo

Sunday, 17 August 2014

Pantun Anak Mudo

Pantun Mudo-mudi

Jawi siapo nan panjang tanduak,
Habis padi den dilendonyo,
Anak siapo nan panjang abuak,
Kanai hati den dibueknyo
...................................................
Rabah lah padi dek limbubu,
Pandan tajelo di muaro,
Patah hati karano cimburu,
Badan sansaro dibueknyo
...................................................
Mambajak sawah pakai kabau,
Masuak pagi kalua patang hari,
Samanjak denai pai marantau,
Banyak anak gadih nan baibo hati
..................................................
Pantun Lainnya:
Bagurau
Pantun Marantau
Pantun Anak Mudo