Wednesday, 11 May 2016

Kategori Fatis Bahasa Minangkabau dalam Buku Carito Etek Siar




ABSTRAK
Padli Ramadhan, 2011. Kategori Fatis Bahasa Minangkabau dalam Buku Carito Etek Siar. Jurusan Sastra Daerah Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang 2016.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ditemukannya kata, gabungan kata, dankelompok kata yang berkategori sebagai kategori fatis banyak digunakan dalam buku Carito Etek Siar. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menjelaskan bentuk-bentuk kategori fatis yang terdapat dalam buku Carito Etek Siar, 2) menjelaskan distribusi dan makna kategori fatis dalam buku Carito Etek Siar. Ada tiga metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian, yaitu 1) metode dan teknik penyediaan data, menggunakan metode simak, teknik sadap dan teknik catat 2) metode dan teknik analisis data, menggunakan metode padan ortografis, metode padan translasional, metode padan refrensial dan 3) metode dan teknik penyajian hasil analisis data, menggunakan metode formal (Sudaryanto, 1993:145).
Dari hasil analisis data ditemukan 74 (tujuh puluh empat) bentuk lingual kategori fatis yang terbagi atas tiga bentuk tataran lingual, yaitu tataran lingual satu kata, dua kata dan tiga kata atau lebih. Kategori fatis bahasa Minangkabau yang digunakan dalam buku Carito Etek Siar ada yang berposisi di awal, di tengah, dan akhir kalimat. Akan tetapi, posisi letak kategori fatis bahasa Minangkabau lebih banyak menempati posisi tengah dan akhir kalimat. Kategori fatis yang berposisi di awal kalimat jumlahnya relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan bentuk kategori fatis yang berposisi di tengah dan akhir kalimat. Kategori fatis bahasa Minangkabau bermakna menegaskan, menguatkan, menekankan, dan menghaluskan.

Kata Kunci: kelas kata, kategori fatis, bahasa Minangkabau






PENDAHULUAN
Menurut Parker (dalam Noviatri dan Reniwati 2010:4), pada komponen-komponen bahasa manusia, baik bahasa yang dipakai manusia di masa lampau, maupun sekarang, dijumpai ciri-ciri keumuman yang disebut dengan kesemestaan bahasa.Akan tetapi, dibalik kesemestaan itu dapat dilihat adanya kekhasan dan kekhususan dari masing-masing bahasa.
Bahasa daerah merupakan bahasa yang memiliki ciri khas tersendiri dalam interaksi sosial masyarakat.Noviatri dan Reniwati (2010:4) menyatakan bahwa bahasa daerah dikenal sebagai bahasa yang sangat ekspresif, karena bahasa daerah merupakan media penyampaian ungkapan perasaan dan emosi penuturnya.Selain itu, bahasa daerah sangat kaya dengan satuan lingual yang berkaitan dengan pengungkapan perasaan dan emosi.Salah satu bentuk satuan lingual yang dimaksud adalah kategori fatis,kategori ini sering digunakan dalam bahasa Minangkabau.
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan komunikasi antara pembicara dan kawan bicara (Kridalaksana, 2007:114). Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog atau wawancara bersambutan, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur. Kridalaksana (2007:116) menyebutkan bahwa kategori fatis ada yang berbentuk partikel, kata, dan frase.
Bentuk-bentuk fatis sering digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Minangkabau dalam komunikasi sehari-hari, tanpa kehadiran kategori ini tuturan masyarakat Minangkabau akan terasa hambar, tidak bernilai rasa dan mitra tutur pun akan menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Selain itu, hal ini berpengaruh terhadap isi dari tuturan oleh penutur kepada mitra tutur menjadi kurang kukuh.Oleh karena itu, kehadiran satuan lingual ini berperan penting dalam bahasa Minangkabau.
Berkembangnya ilmu membaca dan menulis masyarakat Minangkabau telah membawa bahasa Minangkabau ke dalam ranah tulisan.Salah satunya adalah bukuCarito Etek Siar yang ditulis oleh Adriyetti Amir.
Carito Etek Siar (berikutnya disingkat menjadi CES) adalah buku yang menghadirkan cerita lepas dalam bahasa Melayu-Minangkabau. Cerita-cerita lepas yang terdapat di dalamnya merupakan cerita yang pernah dipublikasikan dalam suratkabar daerah, Bukittinggi Pos dan Singgalang. Selain itu, cerita lepas dalam buku ini berisi kejadian-kejadian di daerah maupun nasional yang menarik dari sisi kemanusiaannya. Lebih dalam lagi buku ini menceritakan tentang apa-apa yang terdengar di masyarakat, situasi kampung, cara hidup, dan cara masyarakat kampung itu memandang masalah. Di sinilah letak pentingnya buku CES untuk melestarikan bahasa dan kebudayaan masyarakat Minangkabau melalui karya berupa buku.
Buku ini memuat 78 (tujuh puluh delapan) buah cerita singkat berbahasa Melayu-Minangkabau dengan judul yang berbeda-beda. Penulis mengumpulkan data yang berkaitan dengan kategori fatis dari dua puluh lima (25) judul cerita yang dipilih secara acak dalam buku tersebut. Hal ini dilakukan karena penggunaan variasi bahasa di setiap judul cerita tidak memiliki banyak perbedaan dan lebih memudahkan penulis dalam memperoleh data.Penulis berharap dari semua cerita singkat tersebut dapat memenuhi data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, karena bahasa yang digunakan dalam buku tersebut merupakan bahasa Melayu-Minangkabau yang sangat menarik untuk diteliti.

KESIMPULAN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu 1) mendeskripsikan bentuk-bentuk fatis bahasa Minangkabau yang terdapat dalam buku CES dan 2) mendeskripsikan distribusi dan makna fatis bahasa Minangkabau yang terdapat dalam buku CES, diperoleh kesimpulan bahwa :
Pertama, bertolak dari semua data yang dikumpulkan di dalam buku CES yang kemudian dilanjutkan dengan pengklasifikasian data, ditemukan 74 (tujuh puluh empat) bentuk lingual kategori fatis dalam bahasa Minangkabau. Dari semua bentuk kategori fatis tersebut terdiri dari bentuk tataran lingual satu kata, tataran lingual dua kata dan tataran lingual tiga kata atau lebih. Bentuk-bentuk kategori fatis tersebut antara lain:
1) a, 2) bagai, 3) bana, 4) banalah, 5) bih, 6) ciek, 7) do, 8) e, 9) jeh, 10) juo, 11) juolah, 12) kan, 13) kolah, 14) komah, 15) lah, 16) lai, 17) mah, 18) malah, 19) mangko, 20) monah, 21) ndak, 22) ngomoh, 23) nyeh, 24) sae, 25) saelah, 26) tek, 27) tumah, 28) yeh, 29) alah tumoh, 30) a tu, 31) bagai do, 32) bagai monah, 33) bana do, 34) bana komah, 35) bana nyeh, 36) bana tumoh, 37) bitu mangko, 38) ciek lai, 39) gak ciek, 40) juo nyeh, 41) kan lai, 42) ko a, 43) lah bih, 44) lai dih, 45) lai do, 46) lai moh, 47) mah a, 48) mangko lah, 49) nyo den, 50) pulo bagai, 51) pulo lai, 52) pulo mah, 53) pulo ndak, 54) pulo tumah, 55) pulo yeh, 56) sae do, 57) sae lai, 58) sae jeh, 59) sae lah, 60) sae ngomoh, 61) sae nyeh, 62) tek a, 63) tek lai, 64) tumoh a, 65) yo sabana, 66) a juo lah, 67) bana lai tumoh, 68) bana tu do, 69) dalam pado itu, 70) juolah gak ciek, 71) kok li lai, 72) lah jadi tumoh, 73) pulo tek lai, 74) sabagai alah juo ko do.
Kedua, kategori fatis bahasa Minangkabau yang digunakan dalam buku CES ada yang berdistribusi di awal, di tengah, dan akhir kalimat. Akan tetapi, posisi letak kategori fatis bahasa Minangkabau lebih banyak menempati posisi tengah dan akhir kalimat. Adapun kategori fatis yang berposisi di awal kalimat, jumlahnya relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan bentuk kategori fatis yang berposisi di tengah dan akhir kalimat. Kemudian berdasarkan pengklasifikasian data dalam buku CES, dapat disimpulkan bahwa kategori fatis bahasa Minangkabau bermakna menegaskan, menguatkan, menekankan, dan menghaluskan. Semua makna tersebut secara keseluruhan terdiri atas dua puluh enam (26) buah makna kategori fatis bahasa Minangkabau. Makna-makna kategori fatis tersebut adalah sebagai berikut:
1) Makna menguatkan dugaan, 2) Makna menegaskan pemberitahuan, 3) Makna menekankan pertanyaan, 4) Makna menegaskan penyangkalan, 5) Makna menekankan keberadaan, 6) Makna menekankan ketidakberadaan, 7) Makna menekankan penunjukkan, 8) Makna menegaskan ketidaksetujuan, 9) Makna menegaskan ketidakpedulian, 10) Makna menghaluskan sanggahan, 11) Makna menegaskan sanggahan, 12) Makna menegaskan larangan, 13) Makna menghaluskan larangan, 14) Makna menekankan intensitas, 15) Makna menguatkan pujian, 16) Makna menekankan jumlah, 17) Makna menekankan penidakan, 18) Makna menekankan kebersediaan, 19) Makna mempertegas ejekan, 20) Makna menekankan cemeeh, 21) Makna menekankan kebenaran, 22) Makna menegaskan ketidak-aslian, 23) Makna menekankan kekecewaan, 24) Makna menekankan kesamaan, 25) Makna menekankan rasa pesimis, 26) Makna menekankan keluhan.


DAFTAR PUSTAKA
Agustina. 2007. Kelas Kata Bahasa Minangkabau. Padang: FBSS UNP.
Alwi, Hasan, dkk.2003.Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ayub, Asni, dkk. 1993.Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jasmalinda. 2011. “Penggunaan Kata Dek Dalam KABA Klasik Minangkabau” Skripsi Fakultas Sastra Universitas Andalas. Padang: Universitas Andalas.
Kridalaksana, Harimurti. 2004. Kamus Linguistik (Edisi Keempat). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2007.Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kristina. 2004. ”Kategori Fatis Bahasa Minangkabau” Dalam jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia, no 2 tahunke 22. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Moussay, Gerard. 1998. Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Noviatri. 2002. “Konstituen ndak dan i (ndak) dalam bahasa Minangkabau”. Laporan Penelitian Unand.
Noviatri dan Reniwati.2010. Kategori Fatis Bahasa Minangkabau di Kabupaten Padang Pariaman. Padang: Minangkabau Press.
Parera, J.D. 2009. Dasar-Dasar Analisis Sintaksis. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 2001. SEMANTIK LEKSIKAL (Edisi Kedua). Jakarta: PT. RINEKA CIPTA.
Putri, Widia, Afrina. 2012. “Kategori Fatis Bahasa Minangkabau di Kanagarian Surantih, Kabupaten Pesisir Selatan”. Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Padang: Universitas Andalas.
Ramlan, M. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono.
Sudaryanto. 1993. Metodedan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Tarigan, Henry, Guntur. 1986. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa.
Usman, Abdul Kadir. 2002. Kamus Umum Bahasa Minangkabau Indonesia. Padang: Anggrek Media.
Yusra, Hasnawati. 2012. “Kategori Fatis Bahasa Minangkabau Dalam Kaba Rancak Di Labuah. Skripsi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negri Padang. Padang: UniversitasNegri Padang.

Sunday, 8 May 2016

Wisata Bawah Laut Kota Pariaman

pemandangan bawah laut pulau Kasiak
Wisata Bahari di Kota Pariaman sangat memanjakan mata para wisatawan dengan hamparan pantai Kata- pantai Gandoriah dan gugusan pulau Kasiak, pulau Angso Duo, pulau Tangah, pulau Ujuang dan pulau Bando. Sejalan dengan indahnya pemandangan di permukaan laut, pemandangan bawah laut Kota Pariaman juga sangat indah. Hal ini dapat dilihat pada gugusan karang yang ada di sekitar pulau Kasiak yang sangat cantik dan menjadi rumah bagi ikan-ikan karang.

Dalam menjaga keindahan bawah laut itu di sekitar pulau Kasiak diadakan juga transplantasi karang untuk memperbaiki dan menambah jumlah karang-karang yang ada.

Apabila ingin melihat keindahan permukaan dan bawah laut kota Pariaman, kita dapat menggunakan jasa biro perjalanan, kelompok sadar wisata atau organisasi penggiat wisata yang ada di Sumbar khususnya di Kota Pariaman.

Tuesday, 18 August 2015

Tata Cara Pernikahan Adat Minangkabau “BARALEK GADANG”

"Wedding Ceremony Procession in Minangkabau "BARALEK GADANG"

 Minangkabau memiliki prosesi pernikahan yang sangat beragam, begitu juga atribut pakaian dan perhiasan yang dikenakan pengantinnya dikala melangsungkan pernikahan. Masing-masing nagari memiliki karakteristik busana pengantin dan hiasan kepala yang dikenakan pengantin juga berbeda. Berikut ini tata cara perkawinan adat Minang, Sumatera Barat, Indonesia. Selain bercirikan megah, mewah dan meriah, pelaminan bernuansa emas dan perak. Gaun pengantin umumnya berbentuk tiga dimensi. Pada dasarnya prosesi pernikahan terdiri dari beberapa tahapan. Secara garis besar dapat dilihat berikut:
1. Maresek
Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya timur. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga
2. Meminang dan Bertukar Tanda
Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau kampla yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih diawal pertemuan dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Selain itu juga disertakan oleh-oleh kue-kue dan buah-buahan. Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Benda-benda ini akan dikembalikan dalam suatu acara resmi setelah berlangsung akad nikah. Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan lamaran resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing. Selanjutnya berembug soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.
3. Mahanta / Minta Izin
Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu rencana pernikahan kepada mamak-mamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih. Bagi calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (namun saat ini sedah digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita ritual ini menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.
4. Babako - Babaki
Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), antaran barang yang diperlukan calon mempelai wanita seperti seperangkat busana, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya. Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.
5. Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Tumbukan ini akan meninggalkan bekas warna merah cemerlang pada kuku. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita. . Filosofinya : Bimbingan terakhir dari seorang ayah dan ibu yang telah membesarkan puterinya dengan penuh kehormatan, karena setelah menikah maka yang akan membimbingnya lagi adalah suaminya. Busana khusus untuk upacara bainai yakni baju tokoh dan bersunting rendah. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai dan kursi untuk calon mempelai. Bersamaan dengan inai dipasang, berkumandang syair tradisi Minang pada malam bainai diwarnai dengan pekikan seruling. Calon mempelai wanita dengan baju tokoh dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.
6. Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan datangnya secara beradat, pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatera barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang.
Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.
7. Penyambutan di Rumah Anak Daro
Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih.Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan.
Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat timbal balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.
8. Akad Nikah
Diawali pembacaan ayat suci, ijab kabul, nasehat perkawinan dan doa. Prosesi aqad nikah dilangsungkan sebagaimana biasa, sesuai syariat Islam. Ini merupakan pengejawantahan dari ABS-SBK (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah) dan SMAM (Syara’ Mangato, Adat Mamakai). Ijab Kabul umumnya dilakukan pada hari Jum’at siang
9. Basandiang di pelaminan
Marapulai dijapuik pihak anak daro. sesudah melakukan akad nikah untuk basandiang di rumah anak daro. Anak daro dan marapulai menanti tamu alek salingka alam diwarnai musik di halaman rumah. Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan seusai akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki.
* Memulangkan tanda
Setelah resmi sebagai suami istri maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan oleh kedua belah pihak, sebab barang memiliki nilai historis dan simbol pengikat mempelai.
*Mengumumnkan gelar pengantin pria
Gelar sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai pria lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya. Sesuatu yang sangat khas Minangkabau ialah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap dewasa harus mempunyai gelar. Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Oleh karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Gelar suku tertentu berbeda dengan suku lain. Jadi suku Chaniago, Koto, Piliang memiliki gelar masing-masing.
Kalau untuk menantu yang berasal dari Minang, gelar adat yang yang diberikan oleh kaumnya disampaikan secara resmi dalam kesempatan ini langsung oleh ninik mamak atau yang mewakili keluarga pengantin pria. Untuk menantu yang bukan berasal dari Minang. Gelar ini disebutkan secara resmi oleh wakil keluarga Ayah pengantin Pria.
Filosofinya : Seorang semenda harus lah dihormati oleh keluarga pengantin wanita dan tidaklah layak untuk memanggilnya hanya dengan menyebut namanya saja. Itu dapat dilakukan terhadap anak-anak kecil, sedangkan pemuda yang sudah kawin menurut tata tertib adat disebut sudah “gadang” sudah bisa dibawa berunding. “Ketek banamo-Gadang bagala”. Dan gelar ini juga harus disebutkan secara resmi ditengah-tengah orang ramai. Inilah yang disebut acara “Malewakan gala Marapulai”.
*Mengadu Kening
Pasangan mempelai dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai didudukkan saling berhadapan dan diantara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling bersentuhan. Filosofinya : Mereka sudah syah menjadi Muhrim. Dan persentuhan kulit tidak lagi membatalkan uduk mereka.
*Mangaruak Nasi Kuning
Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami istri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning. Bagian tubuh ayam yang terambil menandakan peranan masing-masing dalam rumah tangga. Kepala ayam artinya dominan dalam perkawinan. Dada ayam artinya berlapang dada dan penyabar. Paha dan sayap berarti menjadi pelindung keluarga dan anak-anaknya
*Bermain Coki
Coki adalah permaian tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.
* Tari Payung
Dipercayai sebagai tarian pengantin baru. Syair `Berbendi-bendi ke sungai tanang`, berarti pasangan yang baru menikah pergi mandi ke kolam yang dinamai sungai Tanang yang mencerminkan berbulan madu. Penari memakai payung melambangkan peranan suami sebagai pelindung istri.
10. Manikam Jajak
Satu minggu setelah akad nikah, umumnya pada hari Jum’at sore, kedua pengantin baru pergi ke rumah orang tua serta ninik mamak pengantin pria dengan membawa makanan. Tujuan dari upacara adat Manikam jajak di Minang ini adalah untuk menghormati atau memuliakan orang tua serta ninik mamak pengantin pria seperti orang tua dan ninik mamak sendiri.
Rangkaian baralek gadang ini emang benar-benar melelahkan. Karena itu, akhir-akhir ini acara pernikahan di Kota Padang lebih cenderung merujuk kepada acara pernikahan modern yang tak kelewat bikin repot

Sunday, 16 August 2015

Seni Perang Bangsa Minangkabau

Benteng Bonjol.
Sumber gambar: Tijschrift voor Nederlands Indie 1839.
Benteng Bonjol. Sumber gambar: Tijschrift voor Nederlands Indie 1839.
Kapten Belanda bernama Hendriks (R.I.P) menjelaskan dalam catatannya seni perang bangsa minangkabau. Yang pada akhirnya catatan tersebut dipublikasikan dalam sebuah buku “Berperang di Sumatera” pada tahun 1881. Buku itu berisi penjelasan tentang petunjuk-petunjuk bagaimana berperang di Sumatera Barat melawan suku bangsa Minangkabau.

Buku tersebut memuat pengalaman berdasarkan banyak kekalahan dan pengalaman pahit Belanda melawan minangkabau dimasa lalu. Belanda boleh jadi sangat paham dalam berperang di Jawa namun karakteristik orang Jawa dalam berperang sangatlah berbeda jauh dengan orang Minangkabau. Demikian juga dalam pengetahuan  tentang peralatan perang. Pasukan Jawa lebih banyak mengandalkan mobilitas yang tinggi dan besarnya pasukan sehingga perang-perang di tanah Jawa lebih banyak dihabiskan pasukan Belanda untuk mengejar musuh.

Orang-orang Minangkabau sangat ahli dibidang “Stratak” dalam perang terutama mempergunakan benteng, sehingga mereka lebih senang bertahan dalam benteng-benteng dan memanfaatkan keadaan alam sebagai pertahanan. Orang-orang Minangkabau jarang sekali  menyerang pasukan Belanda dilapangan terbuka, mereka biasanya menyerang saat  pasukan Belanda sedang dalam barisan dan mereka juga biasa untuk bertahan sampai  mati walaupun memiliki kesempatan untuk melarikan diri.

Senjata yang biasa dipakai oleh rakyat Minangkabau adalah senapan (Badia), karih (keris), kelewang, tombak dan sumpit (tidak pernah memakai anak panah yang beracun, yang dipakai adalah getah aren yang akan  membuat luka menjadi sakit seperti terbakar). Dalam berperang rakyat Minangkabau memakai ranjau dari bambu-bambu yang sangat runcing untuk dipasang di jalan yang diduga akan dilewati musuh. Tetapi sistem pertahanan yang terpenting adalah pagar-pagar hidup yang  terdiri dari bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga mereka  dapat mengamati gerak musuh tanpa terlihat. Pohon bambu berduri ini bila sudah  berumur empat tahun akan menjadi hutan berduri panjang yang mustahil untuk  ditembus, atau biasa dinamai bambu aur.

Hendriks juga menulis agar pasukan Belanda jangan sekali-kali mengejar musuh yang sedang melarikan diri dari Benteng mereka karena kebanyakan ini adalah jebakan, dimana sebuah pasukan yang lain telah disiapkan menunggu dan bersembunyi dalam semak, bebatuan maupun  perbukitan. Jika suatu daerah telah kalah, mereka juga jarang menyerahkan diri, biasanya mereka bertahan dihutan hingga berbulan-bulan dan menyerang  transportasi logistic pasukan Belanda ketika malam.

Sebuah catatan yang dimuat  dalam “Berperang di Sumatera” ini adalah tentang kehebatan orang – orang Padri  yang hanya dengan pasukan berkekuatan 30 orang mampu memukul mundur pasukan Belanda yang berjumlah 2000 serdadu. Pada peperangan Belanda melawan masyarakat Pauah, didiskripsikan bahwa “kampuang Pauah” dikelilingi benteng dari tembok batu dengan tebal 5 meter dan tinggi yang variatif antara 3 sampai 5 meter.
Seorang letnan Belanda bernama Boelhouwer dalam bukunya “Kenang – kenangan sewaktu di Sumatera  Barat tahun 1831 – 1834″ yang diterbitkan di Belanda tahun 1841 melukiskan  pertahanan Bonjol sebagai berikut :  “Bonjol terletak diatas bukit  berbentuk segi empat panjang yang dipisahkan oleh sebuah sungai dengan aliran  yang deras. Tiga sisi Bonjol dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Tembok luar terdiri dari batu-batu besar yang  merupakan tembok benteng yang kokoh dengan teknik pembuatan hampir sama seperti  benteng-benteng di Eropa.

Diantara kedua tembok benteng itu dibuat parit yang  dalam dengan lebar 4 meter. Di atas tembok benteng itu ditanami bambu berduri  yang sudah hampir berupa hutan duri yang tidak dapat ditembus. Orang orang Padri menempatkan pengintai dan penembak jitu dibalik bambu berduri ini untuk memantau  pergerakan pasukan Belanda.

Dibeberapa tempat terlihat meriam-merian kaliber 12  pon dengan pedati beroda kayu tanpa jari-jari untuk mengangkutnya dan di dekat  meriam tersebut terdapat batu bulat sebagai pengganti peluru. Sungguh  mengherankan bagaimana mereka dapat membawa meriam sebesar itu keatas bukit  sedangkan kami (maksudnya Belanda) hanya mampu membawa meriam kaliber 3 pon,  itupun harus dipereteli.

Diluar Bonjol terdapat mesjid berbentuk segi empat yang  dibangun tanpa paku dan besi dengan atap terdiri dari 5 lapis yang makin lama  makin kecil dan tertutup sirap, bahan yang sama dengan yang dipakai untuk atap gereja-gereja di Eropa dan dapat menampung kurang lebih 3000 orang. Sebenarnya jika ada kemauan, bangsa Minang ini dapat mencapai kemajuan peradaban setara dengan Eropa”  Dengan semua kelebihan dan  kemampuan yang dimiliki seharusnya mustahil Minangkabau dapat ditaklukkan oleh  Belanda.

Bagaimanakah bangsa minangkabau bisa diobrak-abrik Belanda?  Jawabannya sederhana saja, bak undang-undang minang penyebabnya “lah ado nan indak saciok bak ayam, lah ado nan indak sadanciang bak basi”, atau “ado guntiang dalam lipatan” bagaimanapun “rapek” kain pasti terpotong juga.

Sumber:
Rusli, Amran. 1988. Padang Riwayatmu Dulu. Cetakan Kedua,  Penerbit CV. Yasaguna.