Kapten Belanda bernama Hendriks (R.I.P) menjelaskan dalam catatannya
seni perang bangsa minangkabau. Yang pada akhirnya catatan tersebut
dipublikasikan dalam sebuah buku “Berperang di Sumatera” pada tahun
1881. Buku itu berisi penjelasan tentang petunjuk-petunjuk bagaimana
berperang di Sumatera Barat melawan suku bangsa Minangkabau.
Buku
tersebut memuat pengalaman berdasarkan banyak kekalahan dan pengalaman
pahit Belanda melawan minangkabau dimasa lalu. Belanda boleh jadi
sangat paham dalam berperang di Jawa namun karakteristik orang Jawa
dalam berperang sangatlah berbeda jauh dengan orang Minangkabau.
Demikian juga dalam pengetahuan tentang peralatan perang. Pasukan Jawa
lebih banyak mengandalkan mobilitas yang tinggi dan besarnya pasukan
sehingga perang-perang di tanah Jawa lebih banyak dihabiskan pasukan
Belanda untuk mengejar musuh.
Orang-orang Minangkabau
sangat ahli dibidang “Stratak” dalam perang terutama mempergunakan
benteng, sehingga mereka lebih senang bertahan dalam benteng-benteng
dan memanfaatkan keadaan alam sebagai pertahanan. Orang-orang
Minangkabau jarang sekali menyerang pasukan Belanda dilapangan
terbuka, mereka biasanya menyerang saat pasukan Belanda sedang dalam
barisan dan mereka juga biasa untuk bertahan sampai mati walaupun
memiliki kesempatan untuk melarikan diri.
Senjata yang biasa dipakai oleh rakyat Minangkabau adalah senapan (Badia), karih
(keris), kelewang, tombak dan sumpit (tidak pernah memakai anak panah
yang beracun, yang dipakai adalah getah aren yang akan membuat luka
menjadi sakit seperti terbakar). Dalam berperang rakyat Minangkabau
memakai ranjau dari bambu-bambu yang sangat runcing untuk dipasang di
jalan yang diduga akan dilewati musuh. Tetapi sistem pertahanan yang
terpenting adalah pagar-pagar hidup yang terdiri dari bambu berduri
panjang yang ditanam sangat rapat sehingga mereka dapat mengamati
gerak musuh tanpa terlihat. Pohon bambu berduri ini bila sudah berumur
empat tahun akan menjadi hutan berduri panjang yang mustahil untuk
ditembus, atau biasa dinamai bambu aur.
Hendriks juga
menulis agar pasukan Belanda jangan sekali-kali mengejar musuh yang
sedang melarikan diri dari Benteng mereka karena kebanyakan ini adalah
jebakan, dimana sebuah pasukan yang lain telah disiapkan menunggu dan
bersembunyi dalam semak, bebatuan maupun perbukitan. Jika suatu daerah
telah kalah, mereka juga jarang menyerahkan diri, biasanya mereka
bertahan dihutan hingga berbulan-bulan dan menyerang transportasi
logistic pasukan Belanda ketika malam.
Sebuah catatan yang
dimuat dalam “Berperang di Sumatera” ini adalah tentang kehebatan
orang – orang Padri yang hanya dengan pasukan berkekuatan 30 orang
mampu memukul mundur pasukan Belanda yang berjumlah 2000 serdadu. Pada
peperangan Belanda melawan masyarakat Pauah, didiskripsikan bahwa
“kampuang Pauah” dikelilingi benteng dari tembok batu dengan tebal 5
meter dan tinggi yang variatif antara 3 sampai 5 meter.
Seorang
letnan Belanda bernama Boelhouwer dalam bukunya “Kenang – kenangan
sewaktu di Sumatera Barat tahun 1831 – 1834″ yang diterbitkan di
Belanda tahun 1841 melukiskan pertahanan Bonjol sebagai berikut :
“Bonjol terletak diatas bukit berbentuk segi empat panjang yang
dipisahkan oleh sebuah sungai dengan aliran yang deras. Tiga sisi
Bonjol dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang
lebih 3 meter. Tembok luar terdiri dari batu-batu besar yang merupakan
tembok benteng yang kokoh dengan teknik pembuatan hampir sama seperti
benteng-benteng di Eropa.
Diantara kedua tembok benteng
itu dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Di atas tembok
benteng itu ditanami bambu berduri yang sudah hampir berupa hutan duri
yang tidak dapat ditembus. Orang orang Padri menempatkan pengintai dan
penembak jitu dibalik bambu berduri ini untuk memantau pergerakan
pasukan Belanda.
Dibeberapa tempat terlihat meriam-merian
kaliber 12 pon dengan pedati beroda kayu tanpa jari-jari untuk
mengangkutnya dan di dekat meriam tersebut terdapat batu bulat sebagai
pengganti peluru. Sungguh mengherankan bagaimana mereka dapat membawa
meriam sebesar itu keatas bukit sedangkan kami (maksudnya Belanda)
hanya mampu membawa meriam kaliber 3 pon, itupun harus dipereteli.
Diluar
Bonjol terdapat mesjid berbentuk segi empat yang dibangun tanpa paku
dan besi dengan atap terdiri dari 5 lapis yang makin lama makin kecil
dan tertutup sirap, bahan yang sama dengan yang dipakai untuk atap
gereja-gereja di Eropa dan dapat menampung kurang lebih 3000 orang.
Sebenarnya jika ada kemauan, bangsa Minang ini dapat mencapai kemajuan
peradaban setara dengan Eropa” Dengan semua kelebihan dan kemampuan
yang dimiliki seharusnya mustahil Minangkabau dapat ditaklukkan oleh
Belanda.
Bagaimanakah bangsa minangkabau bisa
diobrak-abrik Belanda? Jawabannya sederhana saja, bak undang-undang
minang penyebabnya “lah ado nan indak saciok bak ayam, lah ado nan
indak sadanciang bak basi”, atau “ado guntiang dalam lipatan”
bagaimanapun “rapek” kain pasti terpotong juga.
Sumber:
Rusli, Amran. 1988. Padang Riwayatmu Dulu. Cetakan Kedua, Penerbit CV. Yasaguna.
No comments:
Post a Comment