Sunday, 16 August 2015

Seni Perang Bangsa Minangkabau

Benteng Bonjol.
Sumber gambar: Tijschrift voor Nederlands Indie 1839.
Benteng Bonjol. Sumber gambar: Tijschrift voor Nederlands Indie 1839.
Kapten Belanda bernama Hendriks (R.I.P) menjelaskan dalam catatannya seni perang bangsa minangkabau. Yang pada akhirnya catatan tersebut dipublikasikan dalam sebuah buku “Berperang di Sumatera” pada tahun 1881. Buku itu berisi penjelasan tentang petunjuk-petunjuk bagaimana berperang di Sumatera Barat melawan suku bangsa Minangkabau.

Buku tersebut memuat pengalaman berdasarkan banyak kekalahan dan pengalaman pahit Belanda melawan minangkabau dimasa lalu. Belanda boleh jadi sangat paham dalam berperang di Jawa namun karakteristik orang Jawa dalam berperang sangatlah berbeda jauh dengan orang Minangkabau. Demikian juga dalam pengetahuan  tentang peralatan perang. Pasukan Jawa lebih banyak mengandalkan mobilitas yang tinggi dan besarnya pasukan sehingga perang-perang di tanah Jawa lebih banyak dihabiskan pasukan Belanda untuk mengejar musuh.

Orang-orang Minangkabau sangat ahli dibidang “Stratak” dalam perang terutama mempergunakan benteng, sehingga mereka lebih senang bertahan dalam benteng-benteng dan memanfaatkan keadaan alam sebagai pertahanan. Orang-orang Minangkabau jarang sekali  menyerang pasukan Belanda dilapangan terbuka, mereka biasanya menyerang saat  pasukan Belanda sedang dalam barisan dan mereka juga biasa untuk bertahan sampai  mati walaupun memiliki kesempatan untuk melarikan diri.

Senjata yang biasa dipakai oleh rakyat Minangkabau adalah senapan (Badia), karih (keris), kelewang, tombak dan sumpit (tidak pernah memakai anak panah yang beracun, yang dipakai adalah getah aren yang akan  membuat luka menjadi sakit seperti terbakar). Dalam berperang rakyat Minangkabau memakai ranjau dari bambu-bambu yang sangat runcing untuk dipasang di jalan yang diduga akan dilewati musuh. Tetapi sistem pertahanan yang terpenting adalah pagar-pagar hidup yang  terdiri dari bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga mereka  dapat mengamati gerak musuh tanpa terlihat. Pohon bambu berduri ini bila sudah  berumur empat tahun akan menjadi hutan berduri panjang yang mustahil untuk  ditembus, atau biasa dinamai bambu aur.

Hendriks juga menulis agar pasukan Belanda jangan sekali-kali mengejar musuh yang sedang melarikan diri dari Benteng mereka karena kebanyakan ini adalah jebakan, dimana sebuah pasukan yang lain telah disiapkan menunggu dan bersembunyi dalam semak, bebatuan maupun  perbukitan. Jika suatu daerah telah kalah, mereka juga jarang menyerahkan diri, biasanya mereka bertahan dihutan hingga berbulan-bulan dan menyerang  transportasi logistic pasukan Belanda ketika malam.

Sebuah catatan yang dimuat  dalam “Berperang di Sumatera” ini adalah tentang kehebatan orang – orang Padri  yang hanya dengan pasukan berkekuatan 30 orang mampu memukul mundur pasukan Belanda yang berjumlah 2000 serdadu. Pada peperangan Belanda melawan masyarakat Pauah, didiskripsikan bahwa “kampuang Pauah” dikelilingi benteng dari tembok batu dengan tebal 5 meter dan tinggi yang variatif antara 3 sampai 5 meter.
Seorang letnan Belanda bernama Boelhouwer dalam bukunya “Kenang – kenangan sewaktu di Sumatera  Barat tahun 1831 – 1834″ yang diterbitkan di Belanda tahun 1841 melukiskan  pertahanan Bonjol sebagai berikut :  “Bonjol terletak diatas bukit  berbentuk segi empat panjang yang dipisahkan oleh sebuah sungai dengan aliran  yang deras. Tiga sisi Bonjol dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Tembok luar terdiri dari batu-batu besar yang  merupakan tembok benteng yang kokoh dengan teknik pembuatan hampir sama seperti  benteng-benteng di Eropa.

Diantara kedua tembok benteng itu dibuat parit yang  dalam dengan lebar 4 meter. Di atas tembok benteng itu ditanami bambu berduri  yang sudah hampir berupa hutan duri yang tidak dapat ditembus. Orang orang Padri menempatkan pengintai dan penembak jitu dibalik bambu berduri ini untuk memantau  pergerakan pasukan Belanda.

Dibeberapa tempat terlihat meriam-merian kaliber 12  pon dengan pedati beroda kayu tanpa jari-jari untuk mengangkutnya dan di dekat  meriam tersebut terdapat batu bulat sebagai pengganti peluru. Sungguh  mengherankan bagaimana mereka dapat membawa meriam sebesar itu keatas bukit  sedangkan kami (maksudnya Belanda) hanya mampu membawa meriam kaliber 3 pon,  itupun harus dipereteli.

Diluar Bonjol terdapat mesjid berbentuk segi empat yang  dibangun tanpa paku dan besi dengan atap terdiri dari 5 lapis yang makin lama  makin kecil dan tertutup sirap, bahan yang sama dengan yang dipakai untuk atap gereja-gereja di Eropa dan dapat menampung kurang lebih 3000 orang. Sebenarnya jika ada kemauan, bangsa Minang ini dapat mencapai kemajuan peradaban setara dengan Eropa”  Dengan semua kelebihan dan  kemampuan yang dimiliki seharusnya mustahil Minangkabau dapat ditaklukkan oleh  Belanda.

Bagaimanakah bangsa minangkabau bisa diobrak-abrik Belanda?  Jawabannya sederhana saja, bak undang-undang minang penyebabnya “lah ado nan indak saciok bak ayam, lah ado nan indak sadanciang bak basi”, atau “ado guntiang dalam lipatan” bagaimanapun “rapek” kain pasti terpotong juga.

Sumber:
Rusli, Amran. 1988. Padang Riwayatmu Dulu. Cetakan Kedua,  Penerbit CV. Yasaguna.

No comments: